JAKARTA — Majelis Hakim PTUN Jakarta memenangkan gugatan warga Bukit Duri, perjuangan panjang menempuh keadilan pun diraih warga Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Kuasa Hukum Yayasan Ciliwung Merdeka, Vera Wenny Soemarwi menjelaskan warga Bukit Duri merupakan korban penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah menganggap akibat Sungai Ciliwung sudah tidak normal, karenanya pemerintah berniat menormalkan Sungai Ciliwung. Tetapi, menormalkan Sungai Ciliwung ternyata tidak cukup dengan mengeruknya agar lebih dalam serta menggali kali agar lebih lebar.
“Menormalkan Sungai Ciliwung dilakukan dengan mengabnormalisasi kebijakan, peraturan, pikiran dan tindakan para pemangku kepentingan,” ujarnya.
Ia memaparkan peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 163/2012 jo Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2181/2014 sebagai dasar hukum dilaksanakannya program normalisasi Sungai Ciliwung telah habis masa berlakunya pada tanggal 5 Oktober 2015. Namun penguasa daerah dan pusat tetap ngotot dengan segala upayanya untuk tetap melaksanakan normalisasi Kali Ciliwung.
“Tindakan tidak professional, tidak transparan, tidak partisipatif, tidak musyawarah, tidak akuntabel dan masih banyak tidak lainnya yang terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik telah dilanggar oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Memaksa agar warga tetap digusur dengan segala upaya dan tindakan melawan hukum,” terang Vera.
Puncak pelanggaran mereka terjadi pada tanggal 29, 30 September, 1 dan 3 Oktober 2016 pemerintah merampas hak-hak warga Bukit Duri dan menggusur dengan gelap mata. Pada tanggal-tanggal itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta telah menghancurkan rumah-rumah warga dan mengambil tanah-tanah warga Bukit Duri.
Sebelum penggusuran, pemerintah telah melancarkan serangkaian teror, intimidasi, dan stigmatisasi bahwa warga Bukit Duri merupakan warga liar, menduduki tanah negara, penyebab banjir, dan masih banyak lagi cap-cap negatif yang perlu diberikan kepada mereka. Rangkaian teror Pemerintah Kota Jakarta Selatan (Pemkot) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov) yang saat itu dijabat oleh Basuki Tjahja Purnama diikuti kebijakan mereka menggusur rumah-rumah dan tanah warga Bukit Duri dengan menerbitkan Surat Peringatan (SP), yaitu Surat Peringatan Pertama (SP 1 – Nomor: 1779/-1.758.2 tertanggal 30 Agustus 2016), Surat Peringatan Kedua (SP 2 – Nomor: 1837/-1.758.2 tertanggal 7 September 2016), dan Surat Peringatan Ketiga (SP3 – Nomor: 1916/-1.758.2 tertanggal 20 September 2016). Ketiga SP itu diterbitkan dengan alasan warga Bukit Duri telah melanggar Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum).
Alasan Pemprov menggusur karena warga membangun bangunan di pinggir Sungai Ciliwung. Tapi warga Bukit Duri protes terhadap tindakan tersebut. Apalagi, ketika penggusuran terjadi, warga tengah menggugat Surat Peringatan tersebut ke PTUN dan rencana penggusuran tersebut ke PN Jakarta Pusat melalui gugatan perdata class action.
Di PTUN, warga menggugat pemerintah daerah karena menerbitkan SP 1, 2, dan 3. Kebanyakan warga tinggal di Bukit Duri sejak sebelum Indonesia merdeka. Warga sudah membangun rumah di pinggir Sungai Ciliwung sejak tahun 1920-an. Warga memiliki surat-surat Verponding, SPPT, akta jual-beli, dan surat-surat lain yang menunjukkan mereka tinggal di atas tanah itu tidak secara illegal.
Terhadap kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri diakui oleh Majelis Hakim PTUN dalam pertimbangan hukumnya yang mengatakan bahwa tanah-tanah yang digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane merupakan tanah-tanah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun temurun. Majelis Hakim mengakui kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan UU No. 2/2012 jo Perpres No. 71/2012.
Alasan lainnya, penerbitan SP 1, 2, dan 3 bertentangan dengan Izin Lingkungan, Ijin Kelayakan Lingkungan, AMDAL, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU HAM.
“Hari ini perjuangan warga Bukit Duri dijawab oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengabulkan gugatan warga Bukit Duri,” katanya.
Dalam pertimbangannya majelis hakim berpendapat:
1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya obyek sengketa (SP 1, 2, dan 3), dihancurkannya rumah-rumah warga, dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak;
2. Pelaksanaan pembebasan tanah-tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahap-tahap dalam UU Pengadaan Tanah yaitu:
– inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
– penilaian ganti kerugian;
– musyawarah penetapan ganti kerugian;
– pemberian ganti kerugian; dan
– pelepasan tanah instansi.
3. Pemerintah telah melanggar asas partisipasi, asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan dalam menjalankan tindakan faktual berupa penggusuran warga Bukit Duri;
4. Obyek sengketa (SP 1, 2, dan 3) telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Dalam amar putusannya, majelis hakim PTUN menyatakan sebagai berikut:
1. Menyatakan batal obyek sengketa (SP 1, 2, dan 3) perkara a quo;
2. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut obyek sengketa perkara a quo;
3. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat;
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta harus memulihkan hak-hak warga Bukit Duri yang telah dilanggar dan memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami warga Bukit Duri.
Putusan majelis PTUN ini adalah bukti bahwa penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Jakarta Selatan merupakan tindakan sewenang-wenang, melanggar hukum, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Karena itu Penggugat menuntut kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Selatan untuk:
1. Mematuhi putusan PTUN Jakarta;
2. Mencabut obyek sengketa a quo;
3. Mengembalikan hak-hak atas tanah dan rumah warga yang telah dihancurkan; dan atau
4. Memberikan ganti rugi yang senilai dengan tanah dan rumah warga Bukit Duri yang telah dirampas/digusur.
Perjuangan warga Bukit Duri ini bersama Kuasa HukumYayasan Ciliwung Merdeka, diantaranya; Vera Wenny Soemarwi, SH., LLM
Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., Msi, MA
Waskito Adiribowo, S.H.
Kristian Feran, S.H.
Doni Nur Hidayat, S.H.