NEWSANTARA.CO, Aceh – Di luar segala pemberitaan keindahan alam gunung dan laut propinsi Aceh, Ternyata ada sisi seru dari kota Banda Aceh yang jauh dari pemberitaan, sesungguhnya Banda Aceh adalah kota yang sangat asyik buat anak nongkrong. Di kota ini tak perlu masuk mall dan bayar pajak makanan mahal-mahal untuk sekedar berkumpul sama teman-teman.
Sejauh mata memandang Banda Aceh, warung kopi ada di mana-mana. Ada yang sederhana, ada yang mewah, ada yang tradisional, ada yang modern, ataupun gabungan tradisional dan modern. Yang menyenangkan lagi, sangat banyak warung kopi yang harganya ramah di kantong dan buka 24 jam. Maklum saja, Aceh memang terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di dunia, yaitu Arabika Gayo. Melimpahnya kopi di Aceh berpadu dengan kegemaran orang Aceh, terutama di Banda Aceh, bersosialiasi dengan secangkir kopi.
“Banda Aceh memang disebut kota seribu warung kopi. Orang-orangnya senang berkumpul sambil ngopi”. ujar bang Sani, salah satu kenalan kami di Aceh.
Dari sekian banyak warung kopi di sana, ada satu yang bakal melekat terus di ingatan saya, yaitu Warung Kopi Tubruk & Arabica, namanya memang Warung Kopi Tubruk Arabica namun menu andalan utamanya adalah Kupi Khop yang justru menggunakan kopi Robusta. Kupi Khop sendiri berarti kopi terbalik. Cara menyeduh kopinya barangkali tak terlalu menarik, hanya kopi Robusta yang digiling kasar dan diseduh air panas tanpa disaring. Tapi, cara penyajiannya yang unik. Gelas berisi kopi disajikan terbalik dengan piring kecil menjadi alasnya. Sebuah sedotan dijepit di antara bibir gelas dan piring itu.
Bagi yang tak terbiasa, minum kopi dengan cara itu memang bukan hal mudah. Saya sendiri butuh waktu beberapa menit, usai bang Sani yang duduk disamping saya mengajari saya.
menurut bang sani kebiasan minum kopi Ini asalnya adalah budaya penduduk Meulaboh, Aceh Barat. Mereka yang tinggal di pinggiran pantai dengan semilir angin pantai yang besar, sementara kebiasan mereka senang minum kopinya sedikit-sedikit, sambil ngobrol, dan membalik gelasnya kopi tersebut dengan tujuan agar panas kopi bertahan lama dan tidak terkena debu/pasir pantai,
Selain kopi, Banda Aceh dihiasi dengan berbagai kuliner yang membuatmu ingin menghancurkan semua timbangan badan yang ada di dunia ini.
Sebut saja mie Aceh yang termasyhur itu. Saya dan rekan saya berdebat tak berkesudahan tentang mie Aceh mana yang paling enak, Mie Ayah atau Mie Razali. Mie yang dimasak dengan rempah-rempah dan dilengkapi aneka seafood, siapa coba yang tega menolaknya? Meskipun bergaya sama, cita rasa mie Aceh yang disajikan restoran Mie Ayah dan Mie Razali sedikit berbeda. Di restoran Mie Ayah, makanan itu dimasak di atas tungku tradisional dengan rempah-rempah khas Aceh yang sangat kuat rasanya. Sementara di Mie Razali, mie Aceh yang disajikan rasanya lebih ringan dan gurih namun isian seafoodnya agak lebih banyak.
Lepas dari mie Aceh, masih ada sederet masakan khas Aceh lainnya yang sayang jika dilewatkan. Untungnya, di Aceh ada beberapa rumah makan yang dengan lengkap menyajikan berbagai menu masakan khas Aceh.
Salah satunya yang berhasil kami datangi adalah RM Hasan 2. Ayam tangkap, kari kambing, pliek’u, dan keumamah (ikan kayu) sangat memanjakan lidah. Ayam tangkap adalah masakan ayam goreng rempah yang ditaburi oleh daun pandan, cabai hijau, bawang merah, dan daun kari yang digoreng.
Kari kambing khas Aceh tak seperti kari pada umumnya yang berkuah santan kental melainkan lebih menyerupai sop namun dengan rempah yang lebih banyak. Pliek’u adalah masakan yang terdiri dari daun melinjo yang difermentasi, udang ebi, santan, cabai, dan beragam bumbu lainnya. Keumamah adalah masakan dari daging ikan tongkol yang sudah disuir dan dikeringkan hingga menjadi mirip serpihan kayu. Daging ikan kering itu direndam terlebih dahulu sebelum ditumis dengan rempah-rempah. Konon, ikan kayu dulu dibuat untuk bekal perang gerilya atau perjalanan jauh karena tahan lama sebelum dimasak. Jadi, masih mau diet? Jangan ke Aceh! (Nald & Mag)