NEWSANTARA.CO, Jakarta- Sidang kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjacahaya Purnama alias (Ahok) kembali digelar oleh pengadilan negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.
Sidang kali ini, yaitu sidang ke-11 turut serta menghadirkan empat orang saksi ahli. Diantaranya adalah; 1. DR. H. Abdul Chair (saksi ahli hukum pidana MUI),2. Prof. DR. Yunahar Ilyas, (saksi ahli agama Islam MUI), 3. KH. Miftachul Achyar (saksi ahli agama Islam MUI) dan 4. DR. Mudzakkir (saksi ahli hukum pidana UII Yogyakarta).
Kehadiran para saksi ahli tersebut tentu saja untuk dimintai pandangan dan analisa secara keilmuan dalam persidangan yang digelar ini. Dari mulai pandangan yang berkaitan dengan tafsir bahasa yang digunakan dan tafsir unsur pidana (penistaan) yang terkandung dalam ucapan terdakwa.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu saksi ahli, Prof. DR.Yunahar Ilyas dari MUI yang sekaligus ketua PP. Muhammadiyah,” memilih berdasarkan agama tidak bertentangan dengan konstitusi dan sama sekali tidak memecah belah, bahkan justru akan memperkuat negara kesatuan republik Indonesia”, jelas Yunahar di muka persidangan, Selasa (21/2).
Selanjutnya ia memaparkan bagaimana hak bagi setiap warga negara dalam menentukan pilihannya dalam memilih pemimpin. Sebab, di Indonesia yang menganut sistem demokrasi memberi ruang yang luas pada setiap warga negaranya.
“Dalam pemahaman pimpinan pusat Muhammadiyah, memilih itu adalah hak, sekaligus adalah kewajiban. Kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Memilih pemimpin nanti yang dipilihnya adalah yang terbaik. Tetapi menjadi hak dia untuk menentukan kriteria yang terbaik menurut dia” paparnya.
lebih jauh ia mengungkapkan bahwa ada beberapa definisi kepemimpinan.” kalau menurut saya, jika Al Maidah diterjemahkan dengan teman dekat justru akan lebih berat, yang moderat diartikan pemimpin. Kalau diartikan teman setia, maka bertemanpun tak boleh dengan Yahudi dan Nasrani, itu lebih berat” tambahnya.
Saksi ahli yang lain menjelaskan dalam perspektif pidana. Penjelasan itu diungkapkan oleh DR. Mudzakkir selaku saksi ahli pidana UII.
“Jelas ada kesengajaan,” ungkap Mudzakkir di hadapan majelis hakim. Kesengajaan itu, menurutnya, terindikasi “karena ada pemilih yang tidak akan memilih” terdakwa terkait ayat tersebut.
Ia juga menambahkan, perihal maksud dan tujuan terdakwa mengutarakan kalimat dengan mencatut surat Al-Maidah 51 apakah dikategorikan menista ataupun tidak. “Terminologi kata-katanya sangat menodai,” imbuhnya.
Satu sisi dari tim kuasa hukum Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tetap menfsirkan bahwa kliennya meyoroti politisi yang menggunakan ayat dalam salah satu surat Al-Qura’an untuk komoditas politik.
“Dia mengingatkan bahwa ada oknum politik yang ngomong seperi itu,” kata Gani Humphrey R Djemat di tempat yang sama.
“(Ahok) ingatkan oknum politik itu karena tujuannya SARA,” imbuhnya.(red/tan).