Pembaruan Regulasi Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem

UU No.32 Tahun 2024 Tinggalkan Zonasi dan Menjangkau Lanskap

PONTIANAK, Newsantara.co — Salah satu perubahan signifikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah perluasan lokus atau area konservasi. Pembaruan ini tidak hanya memperkuat perlindungan pada kawasan daratan, tetapi juga memperluas fokus konservasi ke area-area yang sebelumnya kurang terakomodasi dalam undang-undang lama.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, konsep Areal Preservasi telah diperluas dan diperdalam untuk mencakup berbagai tipe kawasan yang memiliki nilai ekologis, sosial, dan budaya yang tinggi. Penetapan areal preservasi tidak hanya bertujuan untuk melindungi ekosistem yang ada, tetapi juga untuk mempertahankan dan memperkuat konektivitas ekologis serta kearifan lokal yang berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan. Beberapa elemen penting dari areal preservasi yang diatur dalam undang-undang ini meliputi:

Koridor Ekologis atau Ekosistem Penghubung, adalah jalur alami yang menghubungkan satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya, memungkinkan pergerakan satwa liar dan penyebaran tumbuhan. Koridor ini penting untuk menjaga keanekaragaman hayati, khususnya bagi spesies yang membutuhkan ruang luas untuk hidup dan berkembang biak.

Dalam konteks konservasi, koridor ekologis juga membantu mengurangi fragmentasi habitat, yang merupakan salah satu penyebab utama kepunahan spesies. Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 menekankan pentingnya perlindungan dan pemeliharaan koridor-koridor ini sebagai bagian dari strategi konservasi yang lebih luas.

Areal Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value Areas), adalah kawasan yang diidentifikasi memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi, baik dari segi keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem, maupun jasa ekosistem yang disediakan.

Kawasan ini dapat mencakup habitat bagi spesies langka atau terancam punah, hutan primer, daerah tangkapan air, atau wilayah dengan keunikan ekologi tertentu. UU No. 32 Tahun 2024 mengharuskan pengelolaan ANKT secara ketat untuk memastikan bahwa keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem di kawasan tersebut tetap terjaga.

Areal Konservasi Kelola Masyarakat, adalah kawasan konservasi yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat lokal. Ini mencerminkan pendekatan bottom-up dalam konservasi, di mana masyarakat diberikan peran aktif dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

UU No. 32 Tahun 2024 mengakui pentingnya peran masyarakat dalam konservasi, terutama dalam kawasan yang memiliki nilai penting bagi kehidupan mereka, seperti hutan adat atau lahan pertanian tradisional. Pendekatan ini tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal dalam menjaga warisan alam mereka.

Areal Perlindungan Kearifan Lokal, mencakup wilayah-wilayah yang memiliki nilai budaya dan pengetahuan tradisional yang penting untuk dilestarikan. Kearifan lokal sering kali mencerminkan praktik-praktik berkelanjutan yang telah terbukti mampu menjaga keseimbangan lingkungan.

Misalnya, pengelolaan hutan secara tradisional oleh masyarakat adat yang telah berlangsung selama berabad-abad. Undang-undang ini memberikan perlindungan khusus terhadap kawasan-kawasan tersebut, memastikan bahwa kearifan lokal tidak hanya dilestarikan tetapi juga diintegrasikan dalam kebijakan pengelolaan lingkungan modern.

Kawasan Konservasi di Perairan, Perubahan undang-undang ini mencakup pengelolaan kawasan konservasi di perairan, yang mencakup laut, sungai, danau, dan sumber air lainnya. Kesadaran akan pentingnya ekosistem perairan dalam menjaga keseimbangan ekologi mendorong perlunya perlindungan khusus di area ini.

Dengan demikian, ekosistem laut yang kaya akan keanekaragaman hayati, seperti terumbu karang dan hutan bakau, kini mendapatkan perhatian lebih dalam undang-undang ini. Konservasi di perairan juga melibatkan upaya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dan mengurangi degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia.

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga menjadi fokus utama dalam UU No. 32 Tahun 2024. Daerah ini sering kali terabaikan dalam kebijakan konservasi sebelumnya, meskipun mereka memainkan peran penting dalam keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem.

Perubahan ini memperkuat upaya perlindungan terhadap kawasan pesisir yang rentan terhadap ancaman seperti abrasi, polusi, dan eksploitasi sumber daya secara berlebihan. Pulau-pulau kecil, yang sering menjadi habitat bagi spesies endemik dan ekosistem unik, kini juga dilindungi secara lebih komprehensif.

Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia (YNKI), Haryono, menyambut positif dimasukkannya konsep-konsep baru dalam regulasi konservasi yang menjangkau pembangunan konservasi skala lanskap dengan pengembangan konsep dan areal preservasi, seperti area perairan dan pesisir, koridor ekologis, areal nilai konservasi tinggi, serta areal kelola masyarakat dan perlindungan kearifan lokal. Menurut Haryono, inovasi ini merupakan langkah signifikan dalam menciptakan strategi konservasi yang tidak hanya fokus pada pelestarian lingkungan, tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan masyarakat lokal.

Tantangan dalam Implementasi, menutup Kesenjangan Kapasitas. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 telah membawa banyak perubahan positif dalam pendekatan konservasi sumber daya alam hayati, tantangan besar masih ada di depan, terutama dalam hal peningkatan kapasitas para pihak dan masyarakat.

Implementasi yang efektif dari undang-undang ini membutuhkan pemahaman yang mendalam dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan sektor swasta, khususnya korporasi yang memegang perizinan usaha hutan dan lahan.

Peningkatan Kapasitas Masyarakat dan Pemerintah Daerah. Banyak masyarakat lokal dan pemerintah daerah mungkin belum memiliki pemahaman yang memadai tentang konsep-konsep baru dalam undang-undang ini, seperti pengelolaan lanskap dan areal preservasi. Oleh karena itu, diperlukan program pendidikan dan pelatihan yang komprehensif untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola dan melestarikan sumber daya alam hayati.

Kesenjangan Pengetahuan dan Teknologi. Selain kapasitas, kesenjangan dalam pengetahuan dan akses terhadap teknologi juga menjadi hambatan dalam implementasi undang-undang ini. Akses terhadap teknologi dan informasi yang memadai sangat penting agar masyarakat lokal dan pemerintah daerah dapat berpartisipasi secara efektif dalam upaya konservasi.

Peran dan Tantangan bagi Korporasi Pemegang Perizinan Usaha Hutan dan Lahan, korporasi yang memegang perizinan usaha hutan dan lahan, seperti perusahaan pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa operasi mereka tidak merusak ekosistem yang dilindungi. Dalam undang-undang ini, korporasi diwajibkan untuk:

  • Mematuhi Prinsip-Prinsip Pengelolaan Lestari: Korporasi harus menjalankan operasi mereka sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, termasuk menjaga keseimbangan ekologis dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Mereka juga diwajibkan untuk melakukan rehabilitasi lahan pasca-eksploitasi, terutama di areal-areal yang memiliki nilai konservasi tinggi.
  • Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas: Tantangan utama yang dihadapi adalah memastikan bahwa korporasi beroperasi dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Mereka harus menyediakan laporan berkala tentang dampak lingkungan dari operasi mereka dan memastikan bahwa mereka mematuhi semua regulasi yang berlaku.
  • Berkolaborasi dengan Masyarakat dan Pemerintah: Kolaborasi yang erat antara korporasi, masyarakat, dan pemerintah sangat penting untuk memastikan bahwa semua pihak bekerja menuju tujuan konservasi yang sama. Korporasi diharapkan tidak hanya melakukan konsultasi formal dengan masyarakat setempat tetapi juga melibatkan mereka secara aktif dalam pengelolaan lahan dan hutan, serta dalam upaya rehabilitasi dan pelestarian.
  • Mengelola Konflik Kepentingan: Salah satu tantangan terbesar adalah mengelola konflik kepentingan antara kebutuhan korporasi untuk mendapatkan keuntungan dan kebutuhan lingkungan untuk tetap terlindungi. UU No. 32 Tahun 2024 mengharuskan korporasi untuk memastikan bahwa operasi mereka tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga sejalan dengan tujuan konservasi nasional.

Kolaborasi Multi-Pihak dan Pembiayaan. Kesuksesan dari pendekatan lanskap ini sangat bergantung pada kolaborasi yang erat antara berbagai pemangku kepentingan. Keterlibatan korporasi dalam pelaksanaan konservasi sangat penting, tidak hanya dalam hal implementasi tetapi juga dalam penyediaan pembiayaan dan dukungan teknis. Kolaborasi ini harus didukung dengan koordinasi yang baik dan komitmen bersama untuk mencapai tujuan konservasi yang berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *