Idul Fitri dan Kesadaran Beragama

Oleh M. Fuad Nasar
Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Kemenag dan Ketua II BP4 Pusat

NEWSANTARA.CO — Idul Fitri 1 Syawal selalu datang dalam siklus kehidupan umat Islam setelah sebulan penuh menempa diri dengan berpuasa. Idul Fitri adalah hari merayakan kemenangan dan kebahagiaan setelah melaksanakan ibadah puasa. Yang menggerakkan umat untuk menyambut dan merayakan Idul Fitri tiada lain adalah kesadaran beragama yang telah membentuk budaya bangsa.

Tuhan berfirman dalam kalam suci Al-Quran, “Dia menghendaki agar kamu menyempurnakan hari puasa yang telah ditentukan, dan bertakbirlah mengagungkan nama Allah atas petunjuk-Nya, dan kiranya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah [2]: 185).

Idul Fitri menggugah kesadaran beragama menjadi semakin baik dan semangat beramal saleh lebih meningkat. Dalam dimensi kemanusiaan, Idul Fitri menyuburkan silaturahmi dan saling memaafkan. Menurut Buya Hamka, bukan meminta maaf yang utama, melainkan memberi maaf.

Setelah orang-orang beriman dilatih melalui “Diklat Ramadhan,” akan menghasilkan manusia bertakwa (QS Al-Baqarah [2]: 183). Ibadah Ramadhan diterima seiring diampuninya dosa manusia kepada Allah. Dalam kajian agama, salah satu indikasi diampuninya dosa adalah secara psikologis kita tidak mau lagi mengulang perbuatan salah yang mengakibatkan dosa.

Kesempatan untuk bertaubat dan memohon ampunan Allah terbuka sepanjang waktu atas segala dosa sebelum tibanya saat sakaratul maut. Sementara itu, dosa dan kesalahan terhadap sesama manusia harus diselesaikan dengan saling memaafkan. Allah menjanjikan kemuliaan dan pahala di akhirat kepada orang-orang yang mempunyai sifat pemaaf. Sesuai ajaran Islam, hak-hak material antarmanusia perlu diselesaikan di dunia sebelum manusia menghadap sang Khaliq, Allah SWT, dalam proses hisab di yaumil akhir.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap anak Adam tidaklah sunyi dari salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah orang yang segera bertaubat.” Dalam Al-Quran ditegaskan, Allah selalu sedia memberikan ampunan kepada hamba-Nya yang bertaubat (QS An-Nashr [110]: 3).

Dalam sebuah kisah umat purbakala, seorang penjahat dan perampok telah menghabisi nyawa 99 orang. Suatu hari, dia berjumpa dengan seorang rohaniwan dan bertanya apakah Tuhan membukakan pintu taubat bagi orang seperti dirinya. Rohaniwan itu menjawab, “Engkau kekal di neraka.” Penjahat itu pun membunuhnya, sehingga genap 100 korban. Dia putus asa karena tidak menemukan jalan taubat. Riwayat ini mengajarkan agar manusia tidak berputus asa dari rahmat Allah, namun lebih baik menjauhi segala kesalahan. Setiap dosa membuat hati dan jalan hidup manusia menjadi gelap.

Dunia ini mungkin akan dipenuhi orang-orang sakit jiwa dan penjahat seandainya tidak ada maaf dan taubat. Taubat dan maaf diajarkan dalam agama agar hidup manusia menjadi lebih baik sebelum hari pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Idul Fitri disebut “hari kemenangan” karena menjadi lambang kemenangan orang beriman. Manusia harus berupaya menjadi pemenang—bukan dengan mengalahkan sesama, melainkan mengalahkan sifat-sifat buruk yang merugikan.

Idul Fitri memelihara spirit kehidupan agar umat manusia menyadari pentingnya keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan rohaniah. Nilai-nilainya merangkum takwa dan kepedulian sebagai esensi kesalehan. Kesalehan bukanlah hal abstrak, melainkan harus berdampak nyata.

Mohammad Natsir dalam Kumpulan Khutbah Hari Raya menulis, “Hidup bukanlah perebutan rezeki atau pengaruh, bukan tindasan yang kuat kepada yang lemah, melainkan perlombaan dalam menegakkan kebajikan. Hidup ialah iman dan amal saleh.”

Puasa diharapkan menumbuhkan solidaritas sosial sebagai karakter kemanusiaan. Ibadah dalam Islam bukan hanya untuk kesalehan pribadi, tetapi juga membentuk masyarakat yang baik. Idul Fitri dirayakan dengan merawat kesadaran beragama melalui hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama).

Sebagaimana ditulis H.S.M. Nasaruddin Latif, fajar Idul Fitri menyerukan keagungan Ilahi, persaudaraan, dan kedamaian. Jika kedamaian belum terwujud di seluruh dunia, setidaknya kita sebagai muslim dapat menghidupkannya dalam hati.

Wallahu a’lam bisshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *