WASHINGTON, D.C., Newsantara.co – Lebih dari 5.000 warga Amerika Serikat (AS) membanjiri area sekitar Gedung Putih pada Sabtu (5/4), menyuarakan penolakan keras terhadap kebijakan Presiden Donald Trump yang dinilai mengancam demokrasi, jaminan sosial, dan stabilitas ekonomi negara. Aksi ini menjadi bagian dari gerakan nasional “Hands Off” yang digelar serentak di lebih dari 1.000 kota di seluruh 50 negara bagian AS, bahkan merambah ke Kanada dan Meksiko.
Para pengunjuk rasa membawa poster bertuliskan “Bukan Presiden Kami” dan “Jangan Sentuh Jaminan Sosial Kami”, mengecam langkah-langkah Trump yang dianggap merusak tatanan demokrasi. Jane Ellen Saums (66), seorang agen real estat yang turut dalam aksi, menyatakan keprihatinannya. “Pemerintah ini secara sistematis menghancurkan sistem pengawasan dan keseimbangan, dari isu lingkungan hingga hak-hak sipil,” tegasnya.
Koalisi penyelenggara, termasuk MoveOn, Women’s March, dan sejumlah kelompok advokasi progresif, memperkirakan total peserta mencapai 20.000 orang di Washington saja. Mereka menuduh Trump, bersama sekutu miliardernya seperti Elon Musk, berupaya mengonsolidasi kekuasaan dengan mengabaikan suara rakyat.
“Mereka telah membangunkan raksasa yang tertidur. Kami tidak akan diam!” seru aktivis veteran Graylan Hagler (71) di tengah kerumunan massa yang bersemangat.
Aksi ini terjadi di tengah merosotnya dukungan publik terhadap Trump. Hasil jajak pendapat Reuters/Ipsos (3/4/2025) menunjukkan tingkat persetujuannya turun ke 43%, jauh dari angka 47% saat ia pertama kali menjabat. Masyarakat semakin gerah dengan kebijakan pemotongan birokrasi besar-besaran, tarif impor kontroversial, dan gejolak pasar saham.
Meski Gedung Putih membantah rencana pemotongan Jaminan Sosial, Medicare, dan Medicaid, juru bicara Liz Huston justru menuduh Partai Demokrat ingin memperluas program tersebut untuk imigran ilegal, yang menurutnya bisa membebani sistem.
Sementara itu, dalam pidatonya, Trump tetap bersikukuh bahwa kebijakannya adalah bagian dari “revolusi ekonomi” yang akan membawa kemenangan bersejarah bagi AS. Namun, gelombang protes yang meluas menunjukkan bahwa rakyat AS tidak mudah percaya.
Dengan tensi politik yang terus memanas, gerakan ini diprediksi akan semakin meluas, mengingat pemilu 2026 semakin dekat. Akankah Trump berhasil meredam kemarahan publik, atau justru menghadapi perlawanan yang lebih besar? (Red.)