NEWSANTARA.CO — Kehidupan perkotaan yang penuh tekanan dan serba harus cepat telah membuat banyak orang memilih gaya hidup slow living. Diantara mereka memilih tinggal di kota kecil atau wilayah terpencil yang masyarakatnya masih sederhana dengan nuansa pedesaan.
Sayangnya tak semua orang mampu dan mau pindah ke wilayah desa atau kota kecil tersebut. Sementara mereka tetap ingin menerapkan gaya hidup slow living. Ketika gaya hidup itu diterapkan di kota besar seringkali jatuhnya mirip menjadi cara hidup bermalas-malasan.
Lalu apa sih sebenarnya gaya hidup slow living itu?
Secara umum gaya hidup slow living itu mengubah ritme kehidupan sehari-hari yang awalnya serba cepat, terburu-buru dan penuh tekanan, menjadi lebih santai, tenang tanpa perlu khawatir diburu-buru waktu dan pekerjaan.
Dalam menerapkan konsep gaya hidup slow living yang harus ditekankan adalah kualitas menjalani hidupnya bukan pada kuantitasnya.
Penekanan inilah yang membedakan cara hidup slow living di mana pun kita berada dengan hidup bermalas-malasan. Dimana kita menjalani hidup santai dan berkualitas yang mementingkan keseimbangan fisik dan mental, jiwa dan raga, namun tetap berkualitas. Menikmati setiap momen aktivitas serta relasi yang kita bangun.
Awal Konsep Gaya Hidup Slow Living
Dalam artikel Slow Journeys (2015) yang ditulis seorang peneliti sosial, Daisy Tam. Ia menjelaskan gaya hidup Slow Living berawal dari akhir tahun 1980an ketika muncul gerakan Slow Food. Gerakan ini menjadi antitesis bermunculannya gerai-gerai makanan cepat saji di berbagai belahan dunia.
Mereka yang tergabung di gerakan ini berusaha mempertahankan kenikmatan makanan yang dimasak secara sehat dan proses yang lebih tradisional. Walau belakangan gaya hidup Slow Food ini disalahartikan menjadi klub makan kelompok borjuis, namun gerakan ini akhirnya menginspirasi bagaimana cara hidup yang menikmati proses yang berkualitas.
Situasi itu di saat dunia terancam pandemi Covid pada 2020-2021, konsep ini akhirnya melampaui sekedar kenikmatan di meja makan. Pembatasan pergerakan manusia, sempat membuat banyak pihak tak produktif selama berbulan-bulan. Namun dengan perkembangan internet dan teknologi digital, produktivitas bisa bertahan.
Work from Home (WFH) diperkenalkan secara luas, dan kini berkembang menjadi Work from Anywhere (WFA). Perkantoran dan sekolah pascapandemi sudah terbiasa dengan aktivitas karyawan satau murid jarak jauh, tak hanya di kantor atau di kelas semata.
Bahkan belakangan banyak pihak pascapandemi beralih pekerjaan menjadi konten Kreator atau pekerja digital secara mandiri. Fenomena lain, kehidupan pascapandemi juga membuat lebih banyak orang yang peduli akan kesehatan fisik dan jiwa.
Sehingga tak sedikit mereka lebih rutin bersantai menikmati suasana atau sekedar berolahraga di sela waktu yang lebih longgar. Hal ini juga yang ikut mendorong gaya hidup Slow Living berjamur di berbagai tempat.
Prinsip-prinsip Utama dari Gaya Hidup Slow Living
✓ Perhatian dan Kehadiran: Fokus pada momen saat ini dan nikmati setiap pengalaman.
✓ Kesederhanaan: Kurangi kekacauan, baik fisik maupun mental, dan sederhanakan rutinitas harian.
✓ Kesadaran: Buatlah pilihan secara sadar tentang bagaimana Anda menghabiskan waktu dan energi Anda.
✓ Kualitas daripada Kuantitas: Memprioritaskan pengalaman dan hubungan yang bermakna daripada mengerjakan tugas-tugas dengan tergesa-gesa.
✓ Perawatan Diri: Luangkan waktu untuk kegiatan yang membawa kegembiraan dan kesejahteraan.