Oleh: M. Fuad Nasar
(Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Kemenag)
NEWSANTARA.CO — Minangkabau atau Sumatera Barat sejak dahulu dikenal sebagai “gudang ulama”. Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Muhammad Jusuf Kalla, pernah menyatakan bahwa pada tahun 1950–1960-an, delapan dari sepuluh khatib Jumat di masjid-masjid Jakarta berasal dari Minangkabau. Fenomena ini tidak lepas dari tradisi pendidikan Islam berbasis surau dan madrasah yang kuat, ditambah motivasi keagamaan masyarakat Minang yang luar biasa.
Salah satu institusi pendidikan yang menjadi pilar keulamaan Minangkabau adalah Perguruan Thawalib Padang Panjang—sekolah modern Islam pertama di Indonesia. Berdiri pada 11 Mei 1911 oleh Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Thawalib awalnya bernama Sumatera Thawalib atau Thawalib School. Tahun 2025 ini, perguruan tersebut genap berusia 114 tahun.
Jejak Sejarah dan Kontribusi
H. Oemar Bakry dalam autobiografi Dari Thawalib Ke Dunia Modern (1984) menggambarkan Thawalib sebagai pusat modernisasi pendidikan agama dan kawah candradimuka perjuangan kemerdekaan. “Thawalib membasmi taklid buta, mengajarkan kebebasan berpikir, dan menanamkan semangat ijtihad,” tulisnya. Pada 1930-an, jumlah siswanya mencapai ribuan, tak hanya dari Nusantara tetapi juga Malaysia.
Thawalib juga berperan dalam pergerakan politik. Kongres Sumatera Thawalib 1930 melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), yang kemudian berubah menjadi partai PERMI—kekuatan radikal anti-penjajahan. Pasca-kemerdekaan, banyak alumni Thawalib yang mengisi pos-pos strategis di pemerintahan.

Estafet Kepemimpinan dan Sistem Pendidikan
Setelah era Syekh Abdul Karim Amrullah, kepemimpinan Thawalib dilanjutkan oleh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (Angku Mudo). Di bawahnya, sistem pendidikan Thawalib menjadi role model gerakan reformasi Islam (Kaum Muda). Pelajar Thawalib generasi awal terbuka dengan pemikiran progresif dari Timur Tengah, seperti karya Syekh Mohammad Abduh dan Tafsir Al-Manar.
Pengaruh Thawalib bahkan melampaui Sumatera. Pondok Modern Gontor (Jawa Timur) terinspirasi dari model pendidikan Thawalib, sebagaimana diakui oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi dalam buku Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (2005).
Tantangan dan Transformasi
Thawalib tak luput dari ujian sejarah: infiltrasi ideologi komunis di masa kolonial, kerusakan fisik saat pergolakan PRRI, dan wafatnya Abdul Hamid Hakim (1959). Namun, dengan keteguhan akidah, Thawalib bertahan. Pada 1975, perguruan ini membuka fakultas dakwah dan syariah, meski perkembangannya terbatas. Upaya dilanjutkan dengan pendirian Akademi Dakwah Thawalib Jakarta (1983) atas prakarsa H. Oemar Bakry.
Kini, Thawalib menyelenggarakan pendidikan dari TK hingga Madrasah Aliyah, dengan total 1.330 peserta didik. Visinya adalah menjadi unggul dalam tafaqquh fid-din pada 2030, berlandaskan prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Menjawab Tantangan Zaman
Di era disrupsi teknologi, Thawalib dihadapkan pada perubahan gaya hidup dan cara berpikir generasi muda. Prof. Dr. Abrar, M.Ag. (Ketua Yayasan Thawalib) menekankan pentingnya keseimbangan penguasaan iptek (termasuk AI) dengan penguatan imtak. Sebagaimana diingatkan oleh Prof. Dr. Ir. Sardy Sar (pakar AI), teknologi hanyalah alat—manusia sebagai pencipta harus tetap unggul dalam akhlak dan inovasi.
Pada Milad ke-114 (17 Mei 2025), Wakil Menteri Agama RI Dr. H.R. Muhammad Syafii mengapresiasi komitmen Thawalib dalam mencetak generasi Qur’ani yang berakhlak mulia.
Penutup
Sebagai lembaga legendaris, Thawalib harus mempertahankan ciri khasnya: pendidikan karakter yang melahirkan pemimpin berintegritas. Dengan semangat fastabiqul khairat, Thawalib diharapkan terus berkontribusi untuk Indonesia Emas 2045. Insya Allah.