Oleh: M. Fuad Nasar
Direktur Jaminan Produk Halal, Kementerian Agama RI
NEWSANTARA.CO — Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 Juli 2025 memperingati Milad Setengah Abad atau 50 tahun sejak berdirinya pada 17 Rajab 1395 Hijriyah (26 Juli 1975). Sebagai organisasi yang menghimpun ulama, zuama (pemimpin), dan cendekiawan muslim, MUI hadir sebagai khadimul ummah (pelayan umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah).
“…Pada hari ini dan di tempat ini pula telah dikubur untuk selama-lamanya iklim curiga-mencurigai dan saling tidak percaya antara ulama dan aparat pemerintah…”
Dalam suasana peringatan setengah abad ini, patut dikenang pesan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Menteri Agama saat peresmian MUI pada 1975, yang tertuang dalam buku 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia (1975–1985): “Hari ini adalah hari berdirinya Majelis Ulama Indonesia. Hari ini di tempat ini telah dikubur untuk selama-lamanya suasana kurang persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam sendiri. Pada hari ini dan di tempat ini pula telah dikubur untuk selama-lamanya iklim curiga-mencurigai dan saling tidak percaya antara ulama dan aparat pemerintah. Di sini didirikan tugu persatuan, kesatuan, dan ukhuwah islamiyah umat Islam di Indonesia.” Pesan ini tetap relevan hingga kini.
Sejarah mencatat, Prof. Dr. Hamka (Buya Hamka) sebagai Ketua Umum MUI pertama (1975–1981) berjasa meletakkan prinsip dasar independensi dan arah organisasi. Dalam buku Perjalanan Terakhir Buya Hamka (1981), H.A. Mukti Ali menyebut bahwa tanpa Buya Hamka, MUI mungkin tak akan berdiri. Masa kepemimpinannya didampingi oleh Kafrawi Ridwan (Sekretaris Umum dari Kementerian Agama).
MUI menjadi representasi kepemimpinan ulama nasional. Seperti ditegaskan KH Hasan Basri (Ketua Umum ke-3 MUI), MUI mengibarkan ukhuwah islamiyah tanpa tumpang tindih dengan organisasi Islam lain. H.S. Prodjokusumo (Sekretaris Umum era KH Hasan Basri) menyatakan, “MUI adalah alamat seluruh ulama di Indonesia.”
Peran ulama dan tokoh agama krusial dalam membangun harmoni beragama, berbangsa, dan bernegara. Sebagai bangsa relijius non-sekuler, pembangunan memerlukan panduan nilai agama untuk kemaslahatan. Selama 50 tahun, MUI turut memperkokoh integrasi nasional dan mencegah perpecahan. Brigjen TNI (Purn) Dr. Saafroedin Bahar pernah menyarankan perlunya sistem manajemen internal umat Islam yang solid dalam kerangka NKRI.
Melalui Komisi Fatwa dan Dewan Syariah Nasional, MUI memiliki legitimasi memberi fatwa dan nasihat keagamaan sebagai bentuk amar makruf nahi munkar. Fatwa-fatwanya mencakup akidah, ibadah, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga lingkungan hidup.
“MUI harus melayani semua—pemerintah dan rakyat. Mengatakan benar jika benar, salah jika salah. Fatwa harus netral, berpedoman pada Al-Quran dan Hadis.”
KH Ali Yafie (Ketua Umum ke-4 MUI) dalam wawancara dengan Kompas (31 Januari 1999) menegaskan peran MUI sebagai pengemban amanah umat: “MUI harus melayani semua—pemerintah dan rakyat. Mengatakan benar jika benar, salah jika salah. Fatwa harus netral, berpedoman pada Al-Quran dan Hadis.”
Ulama adalah pewaris tugas nabi dalam membina ketahanan mental dan moral masyarakat. Kepemimpinan mereka yang penuh tasamuh (toleransi) menjadi perekat persatuan. Ketenaran ulama bukan hanya karena ilmu, tetapi juga keteladanan dan integritas.
Pengabdian MUI selama setengah abad mencerminkan simbolis kerjasama ulama dan umara (pemerintah). Di tengah perubahan global yang cepat, program MUI diharapkan mampu mengangkat martabat umat Islam.
Khidmat MUI sebagai pelayan umat dan mitra pemerintah mengingatkan bahwa persoalan masyarakat harus dilihat tak hanya dari aspek fisik, ekonomi, atau politik, tetapi juga moral dan spiritual. Fenomena seperti korupsi, kerusakan lingkungan, dan rapuhnya etika publik membuktikan bahwa peran agama—dengan ajaran iman dan ketuhanannya—tak tergantikan oleh sains dan teknologi.





