NEWSANTARA.CO, Jepang – Saat saya tengah berada di Kyoto, Jepang, saya ingin sekali ingin ke Hiroshima. Berhubung punya JR Pass yang masih berlaku. Jika kamu wisatawan dari luar negeri, kamu bisa beli kartu pass itu dan mendapatkan fasilitas memakai hampir semua transportasi di bawah perusahaan JR. Perjalanan dari Kyoto menggunakan kereta shinkansen (kereta peluru) menuju Hiroshima sekitar 2 jam saja.
Kenapa harus ke Hiroshima? Karena saya ingat bom. Hiroshima adalah kota di Jepang yang sangat bersejarah dan sejarah itu ada kaitannya dengan kemerdekaan Indonesia. Masih ingat, kan, di pelajaran sejarah soal ini. Indonesia merdeka tidak lama setelah Jepang, penjajah kita saat itu, tengah panik karena dua pusatn kota yaitu Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom sekutu.
Rencananya, saya ingin lihat sisa-sisa ledakan bom di Peace Memorial Museum. Museum ini memamerkan barang-barang peninggalan korban bom atom yang menelan konon menelan korban sekitar 140 ribu nyawa. Ada juga bangunan kubah bom atom, yang sengaja didirikan untuk mengenang tempat pertama kali bom atom di Hiroshima dijatuhkan. Semua tempat ini bisa dicapai dengan mudah, timggal naik bus dari Stasiun Hiroshima.
Hanya saja saya dan dua travelmate saya membuat rencana agak berantakan. Gara-gara telat lima menit mengejar shinkansen, waktu kami untuk mengeksplorasi Hiroshima terpotong banyak. Telat lima menit mengakibatkan kami harus menunggu shinkansen yang baru berangkat ke Hiroshima 1,5 jam kemudian. Alhasil, kami baru sampai di Hiroshima ketika hari hampir petang. Sedangkan museum-museum di Jepang rata-rata tutup pukul 4 sampai 5 sore.
Akhirnya, saya melewatkan museum incaran saya. Kami bersepakat untuk langsung menuju Miyajima, spot wisata lainnya yang tak kalah unik. Miyajima adalah sebuah pulau yang masih dalam wilayah prefektur Hiroshima. Dari Stasiun Hiroshima, perjalanan harus dilanjutkan dengan menggunakan kereta lokal ke Stasiun Miyajimaguchi yang memakan waktu sekitar 30 menit perjalanan. Dari Miyajimaguchi, kami berjalan kaki ke pelabuhan feri untuk menyebrang ke Pulau Miyajima. Menyebrang dengan kapal feri ini hanya butuh waktu 10 menit saja. Ada dua alasan kuat mengapa saya ingin ke Miyajima. Pertama, karena saya penasaran dengan suhu wilayah laut di Jepang saat musim dingin. Kedua, ingin melihat salah satu kuil Shinto tertua di Jepang yang dibangun di laut, Kuil Itsukushima. Itsukushima ini dicatat sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Di Miyajima, banyak bis shuttle gratis. Namun, saya malas menunggunya. Berbekal peta wisata di tangan, kami bertiga berjalan kaki untuk melihat Itsukushima yang konon mengambang di pinggir laut.
Kawasan Miyajima sangat unik dengan rusa-rusa yang dibiarkan berjalan bebas. Tapi agak merepotkan karena mereka tampak selalu kelaparan. Beberapa rusa bakal datang mendekat kalau kita membawa makanan. Menjulur-julurkan mulutnya minta diberi makan. Ini salah satu daya tarik kawasan ini, wisatawan bisa memberi makan langsung rusa-rusa yang sepenglihatan sayasuka memakan apa saja.
Kami berjalan di pinggir laut, sebuah gerbang setinggi 16 meter berwarna merah kejinggaan terlihat berdiri megah di tengah laut. Gerbang yang merupakan bagian dari Kuil Itsukiahima tu biasa disebut dengan Torii. Torii di Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tetapi Torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875. Bangunan ini unik karena tidak memiliki pondasi. Torii bisa berdiri tegar menempel ke tanah dengan hanya mengandalkan bobot bangunan, lho. Sayang, ketika kami ke sana, air laut sedang surut. Jadi, baik Torii maupun bangunan kuilnya tidak tampak mengambang di laut. Tampak sedang mendarat. Ya sudahlah, minimal saya tau kalau laut di musim dingin itu ya tetap dingin. Anginnya tetap menusuk kulit. Winter jacket tetap dibutuhkan, dibantu dengan timbunan lemak yang saya tabung bertahun-tahun di tubuh buat menangkal dingin.
Kuil Itsukushima sendiri dibangun pada abad ke-6 dan sampai sekarang masih aktif digunakan untuk beribadah. Namun, bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran yang pertama kali dilakukan pada tahun 1168. Tetap tua, ya. Bangunan kuil sebagian besar terbuat dari kayu, entah kayu apa yang kuat bertahun-tahun berdiri di tengah laut. Kuil ini konon sengaja didirikan di laut karena dulunya terlarang bagi orang-orang selain klan tertentu. Orang yang mau ke kuil ini harus menyebrang menggunakan perahu dan memasuki kuil dari Torii. Kalau sekarang, orang bebas datang dan bisa masuk dari pintu samping kuil asal beli tiket. Uniknya lagi, dahulu kala Itsukushima tidak melayani catatan pernikahan dan kematian untik menjaga kemurnian kuil.
Banyak yang bilang waktu terbaik untuk menikmati pemandangan kuil itu adalah saat senja saat malam. Pemandangan Itsukushima saat malam disebut-sebut sebagai salah satu di Jepang. Bayangkanlah kuil kuno dengan cahaya lampu temaram jingga plus pantulan cahaya lampunya di air laut.
kami meneruskan melihat-lihat pemandangan di Miyajima. Ternyata pulau ini lumayan besar. Mungkin butuh waktu sedikitnya dua hari untuk mengeksplorasi objek-objek wisata di sana. Ada kuil lainnya tak jauh daei Itsukushima, yaitu sebuah kuil bernama Senjokaku yang memiliki pagoda bertingkat lima warna merah. Ini juga konon dibangun pada tahun 1400-an.
Selain Itsukushima dan Senjokaku, ada Kuil Daiganji dan Gunung Misen yang memagari Pulau Miyajima juga menawarkan keindahan untuk didaki. Ada juga pemandian air panas alami di sana. Andai saja punya waktu berlebih, kami pasti memilih menginap di Miyajima. Tapi, karena kami cuma punya waktu satu hari untuk jalan-jalan di Hiroshima, kami harus pulang sebelum senja.
Kalau mampir ke Miyajima, jangan lupa dengan kue Momiji Manju. Kue ini merupakan semacam bolu berbentuk daun pohon maple, lambang kota Hiroshima. Momiji Manju berisi berbagai macam, ada vla berbagai rasa, kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, bahkan mochi. Salah satu toko kue terenak yang menjual Momiji Manju terletak antara pelabuhan feri dan Stasiun Miyajimaguchi. Saya nggak tau nama toko kuenya karena plangnya huruf kanji semua. Soal rasa, saya kasih nilai 9 dari skala 10. Soal harga, yah, kamu yang tabah,ya kalau jajan di Jepang, karena jarang sekali ada makanan murah untuk kantong backpacker Indonesia. Kue sebesar setengah telapak tangan saya ini dilabel 25 Yen atau sekitar Rp28 ribu per buah. (Nald/Magg)