NEWSANTARA.CO. Jepang – “Gue pengen ke Aokigahara Jukai, deh,”cetus saya pada sahabat saya, Vidya, setelah menonton film horor berjudul ‘The Forest’ pada suatu hari.
Tanpa disangka, Vidya yang pernah trauma dengan tempat-tempat mistis akibat pernah ‘digelantungi’ makhluk halus, mengangguk antusias.”Oke, pas ke Jepang, kita ke Aokigahara,” jawabnya.
Bukannya takut, kalau ada tempat-tempat seram, saya malah suka penasaran. Aokigahara sendiri adalah hutan yang sangat luas, seluas 35 km2 di kaki Gunung Fuji. Oleh karena itulah disebut dengan ‘jukai’ yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘lautan pohon’. Film The Forest sendiri menceritakan Aokigahara sebagai tempat yang populer untuk bunuh diri. Orang yang berniat bunuh diri banyak yang datang ke hutan itu. Pasalnya, mereka dibantu menguatkan niat oleh sejenis arwah gentayangan bernama ‘jurei’. Kalau orang yang sedang bersedih bertemu jurei di Aokigahara, dia akan mendapatkan fantasi-fantasi menakutkan yang mendorongnya untuk bunuh diri. Ditambah lagi, orang yang masuk Aokigahara sering kali tak dapat kembali karena kehilangan arah. Kompas dan segala gadget sering kali tak berfungsi di Aokigahara karena lembah gunung sekitarnya mengandung banyak logam.
Lucunya, setelah saya browsing di internet, Aokigahara itu ternyata masuk di kawasan wisata Kawaguchiko, prefektur Yamanashi. Kawaguchiko sendiri terkenal dengan danaunya dan merupakan tempat popular untuk menyaksikan keindahan Gunung Fuji. Meskipun masih juga sering dipakai orang untuk bunuh diri, Aokigahara bisa dilalui untuk trekking di hutan yang lebat dan sejuk, juga banyak gua-gua indah yang ada di sana. Hanya saja, tidak boleh keluar dari jalur yang sudah ditetapkan. Kalau bandel, minimal nyasar. Atau kalau kesialannya lagi agak besar, bisa nemu mayat. Sial maksimal adalah ikut bunuh diri karena pas nyasar ketemu jurei. Biasanya, yang beriat bunuh diri bakal sengaja keluar dari jalur. Hiiiiiiyyyyyyy … ngeri tapi penasaraaaaannnnn.
Singkat cerita, sampailah saya, Vidya, dan seorang lainnya yang bernama Lucy, di Stasiun Kawaguchiko. Bukannya berleha-leha di danau Kawaguchiko yang tenar itu, saya dan Vidya langsung bertanya ke tourist information bagaimana caranya untuk sampai ke hutan Aokigahara. Petugas menjelaskan bahwa Aokigahara sangat luas dan meminta saya lebih spesifik ingin ke objek yang mana, karena ada beberapa titik objek wisata, kebanyakan berupa gua vulkanik, dua di antaranya yang menarik. Saya sebetulnya ingin trekking saja di hutannya. Tapi, si petugas berkata jalur trekking di dalam hutan ditutup karena tertimbun salju. Hmm, sayang sekali, ya. Siapa suruh juga datang ke sana saat musim salju.
Saya dibekali petugas selembar peta wisata dengan keterangan titik halte terdekat dari objek yang saya mau.
Di Kawaguchiko, ada dua rute shuttle bus yang ditandai dengan jalur merah dan jalur hijau. Kami harus menaiki bus dengan rute jalur hijau selama 45 menit untuk sampai di Aokigahara.
Tujuan pertama kami adalah Bat Cave. Gua yang dipenuhi banyak kelelawar itu menurut plang petunjuk berjarak sekitar 500 meter dari halte bus Aokigahara, masuk ke area hutan yang jalannya terlihat berliku di antara pohon-pohon besar yang membuat jalanan gelap. Rata-rata Pohon-pohon di Aokigahara berusia sekitar 1500 tahun.
Hari sudah mulai sore. Salju pun turun. Tak tampak orang lain di sekitar situ selain kami bertiga. Tiba-tiba muncul seorang nenek membawa sapu lidi dari samping sebiah toko yang sudah tutup. Ya Tuhan, semoga dia bukan nenek sihir, pikir saya. Saya mulai berpikiran positif setelah melihat si nenek juga membawa pengki. Masak nenek sihir bawa pengki juga kan?
Vidya memberanikan diri mendekati sang nenek yang sepertinya penjaga toko untuk bertanya dengan Bahasa Jepang seadanya. Sang nenek, dengan bahasa tubuhnya, menunjukkan jalan ke Bat Cave, yang sepertinya banyak sekali persimpangan yang bikin pusing. Dia juga bilang, 30 menit lagi Bat Cave bakal ditutup.
“Vid, langsung Ice Cave aja kalo gitu, kayaknya bagusan Ice Cave,”kata saya.
Si nenek berkata sesuatu, dengan Bahasa Tarzan, bahwa kami harus menempuh jarak cukup jauh ke Ice Cave, dan kami harus buru-buru.
Setelah mengucapkan terima kasih, kami bertiga berjalan cepat menuju Ice Cave. Hujan Salju makin lebat, jalanan kanan-kiri juga penuh salju menumpuk, yang sudah memadat.
Kira-kira 500 meter berjalan, kami tak juga menemukan tanda-tanda bahwa kami telah mendekati Ice Cave. Juga tak ada tanda kalau kami telah mendekati jodoh. Suasana jadi agak mengerikan karena tak ada orang lain yang bisa kami tanya. Atau minimal sekedar ada untuk meyakinkan kalau jalan yang kami jejak itu masih di dunia nyata, bukan di dunia ilusi yang menjebak dan berisi jurei-jurei.
“Vid, nenek tadi manusia bukan, ya?”tanya saya.
“Hih, udah jangan mikir serem-serem. Kalau salah jalan tinggal balik lagi,”tukas Vidya yang sepertinya agak ketakutan juga, yang jelas lebih ketakutan dari pada sekedar ketahuan selingkuh.
“Kalau ternyata gak bisa balik gimana?”kata saya lebai.
“Mag, gue masih pengen idup,”tanggap Vidya.
“Kalian ngomong apaan, sih?”tanya Lucy -yang tak tahu latar belakang cerita Aokigahara – polos.
Seperti ada yang memerintah, kami kompak berjalan makin cepat, setengah berlari. Lumayan, badan jadi hangat. Semangat sekali memastikan bahwa kami tidak salah jalan.
Tiba-tiba ada sebuah sedan hitam melaju di samping kami. Lalu terlihat juga ada dua bule yang berjalan di depan kami ke arah berlawanan. Saya menghembuskan nafas lega. Akhirnya melihat juga manusia lain. Beberapa ratus meter kemudian, kami melihat sebuah bangunan dan plang besar bertuliskan Ice Cave.
Kami berlarian ke mesin tiket. Setelah membeli tiket di mesin, lelaki penjaga loket menyambut kami dan mempersilakan kami menggunakan sepatu boots dan helm untuk memasuki gua.
Kami harus menuruni tangga yang cukup panjang untuk masuk ke ruang utama gua. Dinding-dinding gua dipenuhi dengan es. Juga ada balok-balok es yang sudah disusun di dalamnya. Banyak stalagtit yang terbentuk dari es, tidak seperi stalagtit atau ornamen lainnya di gua-gua Indonesia yang terbentuk dari mineral karbonat. Beberapa lampu temaram dipasang di ruangan gua. Ice Cave tidak terlalu besar, tidak membutuhkan waktu lama untuk menyusurinya. Paling hanya 15 menit saja. Namun, kita harus hati-hati karena dasar gua yang kita pijak sangat licin. Di dalam gua, ada tiga pengunjung lainnya, sepertinya rombongan yang menggunakan sedan hitam tadi.
Seorang pria lalu berteriak-teriak dengan Bahasa Jepang di mulut gua. Meski tak tahu ia berkata apa, kami melihat kode-kode tangannya menyebutkan kami harus segera keluar dari gua karena waktu buka gua telah habis. Kami pun menaiki tangga lagi untuk keluar. Saat itulah, Lucy menemukan dompet. Dompetnya tebal pula, berisi lembaran Dollar Amerika.
“Hei, is this your wallet?”teriak Lucy pada seorang pengunjung pria di depan kami.
Si pria necis sipit itu meraba-raba kantongnya, lalu menyadari dompetnya tak ada.
“Yes, it’s mine. Thanks,”katanya pendek sambil mengambil dompet dari tangan Lucy.
Saat mengembalikan helm, kami masih melihat si pria necis dan teman-temannya berfoto-foto di depan plang Ice Cave sebelum berjalan ke mobil sedan hitam mereka. Begitu kami berjalan pulang, sedan hitam itu lewat lagi di samping kami.
“Dih, tawarin kita tebengan kek gitu. Kan gue nemuin dompetnya tadi,”celetuk Lucy sambil tertawa-tawa.
“Tau gitu ambil selembar ya dollarnya,”canda saya, ehm… iya bercanda kok, pengennya sih ambil semua terus beli mobil juga biar nggak usah jalan kaki jauh-jauh ke halte bus.
Ketika berada dalam shuttle bus, barulah saya bercerita perihal Aokigahara pada Lucy. Saya bercerita hutan itu memang tempat yang populer buat bunuh diri yang dinobatkan sebagai lokasi kedua bunuh diri paling populer di dunia setelah Jembatan Golden Gate di San Fransisco. Pemerintah setempat lalu bertekad untuk mengurangi popularitas bunuh diri di Aokigahara dan justru mempopulerkan Aokigahara sebagai tempat berwisata. Untuk itulah, polisi juga menyetop publikasi data orang bunuh diri di Aokigahara sejak 2004. Pada tahun itu saja, ada 108 mayat hasil bunuh diri. Belum termasuk yang tidak ditemukan. Tahun 2010 masih ada laporan bahwa 247 orang memasuki Aokigahara dan bermalam karena berniat bunuh diri. 54 di antaranya akhirnya sukses mengakhiri hidup. Pemerintah tak bisa melarang sama sekali kegiatan bunuh diri. Ini Jepang, ya, negara yang punya budaya harakiri. Jadi, menurut mereka mengakhiri hidup adalah hak seluruh manusia. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah menaruh plang-plang berisi motivasi dan nomor telepon petugas terkait di sekitar Aokigahara. Di antaranya ada yang bertuliskan “Your life is something precious that was given to you by your parents” dan “Think about your parents, siblings and children once more. Do not be troubled alone.” Tuh, dengerin Mblo… jangan cuma gara-gara ditinggal nikah sama mantan terus kamu mau mengakhiri hidup, ah. Hidupmu terlalu berharga.
Bagaimana Aokigahara jadi tempat pilihan populer buat bunuh diri tak lepas dari sejarah Jepang di masa sulit. Konon, dulu ketika makan saja susah, banyak orang yang membuang keluarganya yang terinfeksi penyakit berat ataupun yang sudah sangat tua ke Aokigahara. Si sakit dan si tua ditinggalkan untuk wafat di dalam hutan lebat itu. Arwah-arwah merekalah yang dipercaya menjelma menjadi jurei.
“Yaampun…jadi kalian sengaja ke sini karena itu?” Lucy terbelalak. Saya dan Vidya nyengir kuda.
“Untung kita nggak ketemu jurei,” lanjutnya dengan wajah ngeri, tapi sambil mengunyah onigiri.
Hmm… kami datang ke Aokigahara dengan hati sungguh bahagia meskipun jomblo. Jurei konon hanya mampu ‘memengaruhi’ hati yang tengah bersedih. Jadi, kamu yang sedang bersedih, baiknya sembuhkan dulu hatinya, ya kalau mau ke Aokigahara. (MAGG)