Oleh:
Muhammad Holil
Direktur Career Development Unit Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Pontianak. Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha dan Pendamping Usaha Nusantara (HIPMUN).
NEWSANTARA.CO — Kebijakan ekonomi internasional yang bersifat proteksionis bukanlah hal baru dalam dinamika perdagangan global. Namun, implementasi kebijakan tarif resiprokal yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama masa pemerintahannya (2017–2021), dan diperkuat kembali pada periode pemerintahan keduanya, membawa konsekuensi signifikan bagi banyak negara mitra dagang Amerika Serikat, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini, yang berlandaskan prinsip fair trade dan America First, mendorong peningkatan tarif impor terhadap negara-negara yang dinilai melakukan praktik perdagangan yang tidak seimbang dengan AS. Indonesia pun turut terkena imbasnya, terutama dalam sektor-sektor strategis ekspor dan kelompok usaha kecil seperti UMKM yang terlibat dalam rantai pasok perusahaan besar.
Latar Belakang Kebijakan Tarif Resiprokal
Tarif resiprokal (reciprocal tariff) merupakan kebijakan di mana tarif impor yang dikenakan oleh Amerika Serikat akan disesuaikan dengan tingkat tarif yang diterapkan negara mitra dagang terhadap produk-produk asal AS. Dengan kata lain, jika Indonesia menerapkan tarif 20% terhadap produk dari AS, maka AS juga akan memberlakukan tarif yang sama terhadap produk serupa dari Indonesia.
Dalam praktiknya, kebijakan ini dimanfaatkan oleh pemerintah Trump sebagai senjata dalam perang dagang, terutama terhadap Tiongkok, namun dampaknya merembet ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 23,3 miliar, sementara impor dari AS sebesar USD 11,27 miliar, dengan demikian menghasilkan surplus sebesar USD 11,6 miliar bagi Indonesia.
Namun, dengan diberlakukannya tarif tambahan pada produk-produk seperti tekstil, alas kaki, karet, elektronik, serta kelapa sawit, surplus ini berpotensi mengalami tekanan besar sebab AS menjadi salah satu tujuan utama ekspor non-migas.
Penerapan Tarif Impor 32% pada April 2025
Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Donald Trump kembali menerapkan kebijakan proteksionis baru dengan memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap berbagai produk dari Indonesia. Langkah ini disebut sebagai bentuk lanjutan dari strategi Fair and Reciprocal Trade untuk menyeimbangkan hubungan dagang yang dianggap merugikan Amerika Serikat.
Produk-produk asal Indonesia yang terdampak antara lain tekstil, pakaian jadi, alas kaki, serta produk kelapa sawit dan turunannya. Menurut laporan dari Reuters (2025), asosiasi industri seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan kekhawatiran terhadap penurunan daya saing di pasar AS akibat kenaikan tarif tersebut.
Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada neraca perdagangan Indonesia, tetapi juga memperbesar risiko deindustrialisasi pada sektor padat karya yang selama ini menjadi andalan ekspor. Produk-produk UMKM yang tergabung dalam rantai pasok sektor-sektor tersebut turut mengalami tekanan berat akibat berkurangnya permintaan ekspor dan meningkatnya biaya produksi.
Namun demikian, kebijakan ini juga bisa menjadi momentum refleksi dan reposisi. Tekanan dari tarif tinggi memaksa pelaku usaha nasional untuk tidak bergantung secara berlebihan pada pasar tunggal seperti AS dan mulai mengeksplorasi serta membuka diri terhadap peluang pasar baru. Dalam konteks ini, tarif 32% bukan hanya ancaman, tetapi juga tantangan yang bisa dikonversi menjadi peluang pertumbuhan jangka panjang.
Dampak Terhadap Ekonomi Makro Indonesia
Dari perspektif makroekonomi, kebijakan tarif resiprokal Trump mengancam stabilitas neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Surplus perdagangan Indonesia dengan AS menjadi salah satu sumber penting devisa dan kontributor terhadap nilai tukar rupiah. Penurunan ekspor secara langsung mengurangi permintaan terhadap barang dan jasa Indonesia, menyebabkan kontraksi dalam sektor industri pengolahan dan manufaktur.
Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya pada tahun 2020 bahkan sempat memperingatkan bahwa jika perang dagang terus berlanjut dan tarif tinggi diberlakukan secara luas oleh AS, maka pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dapat terpangkas hingga 0,2–0,3%. Penurunan ekspor ke AS juga akan mempengaruhi investasi langsung asing (FDI), karena ketidakpastian iklim dagang akan mendorong investor untuk menunda atau membatalkan ekspansi.
Di sektor industri tertentu seperti elektronik dan tekstil, banyak perusahaan Indonesia yang melakukan ekspor dengan sistem contract manufacturing untuk merek-merek besar asal AS. Ketika produk-produk ini dikenai tarif masuk yang tinggi di pasar AS, maka daya saingnya otomatis menurun. Akibatnya, permintaan pun turun dan pabrik-pabrik di Indonesia mengurangi kapasitas produksinya.
Dampak terhadap UMKM dalam Rantai Pasok Global
Dampak paling nyata dari kebijakan tarif resiprokal ini dirasakan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terutama mereka yang menjadi bagian dari rantai pasok perusahaan besar. UMKM di Indonesia memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yakni mencapai 60,5% dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja (Kementerian Koperasi dan UKM, 2022).
Dalam konteks global value chain, banyak UMKM Indonesia menjadi pemasok bahan baku, komponen, atau jasa penunjang bagi perusahaan manufaktur yang mengekspor produk ke Amerika Serikat.
Ketika permintaan ekspor menurun akibat tarif tinggi, perusahaan besar akan menyesuaikan kapasitas produksinya, dan imbasnya dirasakan langsung oleh UMKM mitra mereka. Penurunan pesanan menyebabkan turunnya pendapatan UMKM, meningkatnya risiko gagal bayar, serta berkurangnya kemampuan untuk mempertahankan tenaga kerja. Banyak UMKM juga terpaksa menghentikan operasi mereka secara sementara atau permanen karena tidak mampu menanggung beban operasional dengan pendapatan yang terus menyusut.
Contohnya, dalam industri alas kaki, terdapat ribuan UMKM yang menjadi subkontraktor untuk produsen besar seperti Nike, Adidas, dan Asics, yang menggunakan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor ke AS. Ketika produk jadi dikenai tarif tambahan oleh pemerintah AS, pesanan dari pusat manufaktur global tersebut berkurang drastis. UMKM yang membuat sol sepatu, tali, atau komponen kulit pun ikut terpukul.
Tantangan Struktural dan Ketahanan UMKM
Kebijakan tarif resiprokal juga memperlihatkan lemahnya ketahanan struktural UMKM Indonesia dalam menghadapi guncangan eksternal. Mayoritas UMKM belum mampu menembus pasar ekspor secara langsung dan sangat bergantung pada hubungan dengan perusahaan besar. Ketergantungan ini menciptakan kerentanan sistemik, di mana krisis yang dialami perusahaan besar segera menjalar ke seluruh mata rantai produksinya.
Selain itu, UMKM Indonesia juga menghadapi tantangan dari sisi permodalan, akses teknologi, dan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks tarif Trump, hanya UMKM yang adaptif, memiliki kemampuan inovasi, dan sanggup memproduksi barang berkualitas tinggi yang mampu bertahan dan mencari pasar alternatif. Sayangnya, jumlah UMKM yang memiliki kapasitas seperti itu masih sangat terbatas.
Strategi Adaptasi dan Peluang
Meskipun kebijakan tarif resiprokal memberikan dampak negatif, situasi ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat sektor industrinya secara struktural. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat yang terlalu tinggi merupakan risiko jangka panjang. Pemerintah dan pelaku usaha perlu secara serius menggarap pasar non-tradisional seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin yang memiliki potensi besar namun belum tergarap optimal.
Selanjutnya, digitalisasi UMKM menjadi langkah penting yang harus didorong secara sistemik. Pemanfaatan platform e-commerce global seperti Amazon, Alibaba, atau Etsy dapat membuka akses pasar langsung bagi UMKM ke konsumen internasional tanpa harus melalui eksportir besar. Pemerintah dalam hal ini harus memfasilitasi pelatihan, sertifikasi, dan konektivitas digital yang memadai agar UMKM siap bersaing di ranah global.
Langkah lain yang perlu didorong adalah memperkuat daya saing produk lokal melalui sertifikasi mutu, efisiensi produksi, serta inovasi desain. Produk-produk UMKM Indonesia perlu memenuhi standar internasional baik dari sisi kualitas, keberlanjutan (sustainability), maupun etika kerja. Dengan cara ini, UMKM tidak hanya menjadi pelengkap dalam rantai pasok, tetapi juga bisa menjadi pemain utama dengan merek dan pasar sendiri.
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah Indonesia perlu melakukan diplomasi perdagangan secara aktif dan taktis dalam menghadapi kebijakan tarif seperti yang diberlakukan oleh AS. Melalui forum-forum internasional seperti WTO, G20, maupun kerja sama bilateral, Indonesia harus menegosiasikan kembali skema tarif yang adil dan menguntungkan. Selain itu, keberlanjutan Generalized System of Preferences (GSP) yang sempat dihentikan oleh AS perlu diperjuangkan kembali, karena program ini memberikan tarif preferensial bagi produk ekspor dari negara berkembang termasuk Indonesia.
Di sisi domestik, diperlukan kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung daya tahan industri ekspor dan UMKM. Insentif pajak, subsidi bunga kredit, hingga dukungan pembiayaan berbasis teknologi (fintech) harus digencarkan untuk menjaga keberlangsungan usaha. Pemerintah juga dapat mendirikan pusat inovasi dan inkubator bisnis berbasis ekspor untuk membantu UMKM masuk ke pasar global.
Penutup
Kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden Donald Trump menjadi katalis yang menguji ketahanan dan adaptabilitas ekonomi Indonesia di era globalisasi yang semakin proteksionis. Meskipun memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan dan pelaku usaha, terutama UMKM, situasi ini juga membuka ruang untuk melakukan pembenahan struktural dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Dengan strategi yang terintegrasi antara pemerintah, pelaku industri, dan akademisi, Indonesia tidak hanya bisa bertahan menghadapi kebijakan perdagangan global yang tidak menguntungkan, tetapi juga memanfaatkannya sebagai peluang untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif, tangguh, dan mandiri.(Red.)