Oleh:
Agus Yuliono
Dosen Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Tanjungpura
NEWSANTARA.CO — Akhir-akhir ini kita melihat dan turut merasakan terjadinya bencana alam di berbagai daerah termasuk Kalimantan Barat. Berbagai fakta dan data menunjukkan persoalan ekologis di Kalimantan Barat semakin mengiris hati.
Berdasarkan data rekap kejadian bencana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Barat bahwa selama 5 tahun dari tahun 2019 – 2023 telah terjadi 1680 bencana di wilayah Kalimantan Barat.
Jika dibandingkan dengan data 10 tahun sebelumnya yaitu dari 2009-2019, berdasarkan dokumen Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan telah terjadi 331 bencana di wilayah Kalimantan Barat. Apa arti lonjakan bencana yang begitu drastis di Kalimantan Barat?.
Di tahun 2024, Auriga Nusantara melalui Simontini.id menunjukkan data deforestasi di Indonesia pada 2024 teridentifikasi seluas 261.575 hektare. Tahun 2023 teridentifikasi deforestasi di Indonesia seluas 257.384 hektare. Penyumbang deforestasi terbesar di Indonesia ada di Kalimantan.
Kalimantan Barat bercokol diperingkat teratas nomor 1 pada tahun 2023 dengan jumlah luasan deforestasi terparah di Indonesia seluas 35.162 hektare. Tahun 2024, menurun menjadi peringkat 2 tetapi luasan deforestasi meningkat menjadi 39.598 hektare. Artinya, laju deforestasi terus bertambah. Ini bukan sekedar persoalan angka, melainkan potret nyata kerusakan lingkungan yang kian parah.
Bencana ekologis adalah cermin dari kegagalan sistemik mengelola sumber daya alam. Dampaknya tidak berhenti pada kerusakan lingkungan; tetapi juga krisis sosial, budaya, dan ekonomi yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat.
Dokumen Catatan Akhir Tahun 2024 yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalimantan Barat mencatat sedikitnya telah terjadi 853 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Barat. Tiga kategori HAM yang paling dominan terlanggar adalah pertama, terkait pelanggaran hak atas lingkungan, hak atas kesehatan, hak atas air dan sanitasi, serta perubahan iklim.
Kedua, pelanggaran hak atas pembangunan. Ketiga, pelanggaran hak tanggap darurat bencana, krisis kemanusiaan, dan tanggap situasi konflik. Bencana yang terjadi bukan lagi dianggap hal biasa, melainkan tragedi yang harus disikapi dengan serius.
Ekosida: Bunuh Diri Lingkungan
Rentetan bencana alam yang melanda di berbagai wilayah Kalimantan Barat adalah buah pahit dari perusakan alam yang telah berlangsung selama beberapa dekade dan dibiarkan hingga kini. Deforestasi besar-besaran untuk perkebunan monokultur dan pertambangan telah mengganggu keseimbangan ekologis, memicu ekosida yaitu kejahatan lingkungan yang menghancurkan ekosistem dan kehidupan di dalamnya.
Atas nama pembangunan, hutan-hutan yang menjadi sumber dan nafas kehidupan masyarakat dikorbankan. Alih-alih melihat alam sebagai mitra dalam kehidupan, ia direduksi menjadi komoditas yang dieksploitasi tanpa batas.
Pembangunan memberikan keuntungan finansial jangka pendek bagi segelintir pihak, sementara biaya jangka panjang –kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan marginalisasi—ditanggung oleh masyarakat. Model pembangunan semu disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession: akumulasi kekayaan dan kekuasaan dengan merampas sumber daya alam dan hak-hak masyarakat.
Kesejahteraan hanya dinikmati elite. Sementara masyarakat dimarginalkan dan dikriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka. Bencana ekologis telah menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Namun, yang sering kali luput dari perhitungan adalah biaya sosial kultural dan ketimpangan sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Hilangnya hutan berarti mengancam kekayaan hayati, sumber pangan lokal, obat-obat tradisional, praktik-praktik budaya, meruntuhkan nilai-nilai sakral dan pengetahuan lokal. Penghormatan terhadap alam kehilangan makna ketika tanah, hutan dan sungai telah dijarah.
Perampasan alam tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi sosial budaya. Namun, di tengah keterpurukan, ketahanan budaya bisa menjadi salah satu jalan untuk melawan ekosida. Alih-alih mengedepankan pembangunan yang eksploitatif dan agresif, pendekatan pembangunan perlu mengintegrasikan budaya dan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Perlindungan hutan adat, advokasi masyarakat adat dan hak-hak tanah, revitalisasi pengetahuan tradisional, gerakan sekolah adat, membangun jaringan lintas sektor untuk kampanye kreatif menyuarakan isu ekosida, penguatan ekonomi berbasis budaya dan lingkungan, serta membangun solidaritas dan gerakan kolektif bisa menjadi bentuk langkah kongkret.
Strategi ketahanan budaya tidak hanya untuk melawan ekosida, tetapi juga untuk mengajarkan kita cara hidup yang lebih harmonis dengan alam dan membangun masa depan yang lebih lestari, adil serta berkelanjutan.
Langkah Gerakan Budaya
Budaya yang berakar pada penghormatan terhadap alam memiliki peran dalam menjamin keberlanjutan kehidupan. Tidak hanya sebagai ritual tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai ekologis yang memperlakukan alam sebagai bagian integral yang tak terpisahkan.
“Tanah adalah ibu, hutan adalah ayah, dan sungai adalah darah”, salah satu falsafah Dayak Iban yang mengingatkan bahwa manusia dan alam adalah keluarga yang tak terpisah.
Alam bukan sekadar sumber daya, tetapi bagian dari kehidupan yang memiliki nilai intrinsik. Alam seharusnya diperlakukan dengan keintiman dan kepedulian yang sama seperti merawat keluarga sendiri. Melukai alam setara dengan melukai keluarga sendiri.
Falsafah ini mendorong tanggung jawab kolektif dalam menjaga keseimbangan alam dan mengatasi krisis ekologis yang sedang berlangsung. Gerakan budaya menjadi kekuatan untuk mengembalikan kesadaran ekologis yang tercerabut.
“Kita butuh cara pandang holistik yang melihat relasi manusia dan alam yang saling terhubung dan menghidupi.”
Budaya adalah pertahanan terakhir untuk menghadapi kehancuran. Lihatlah gerakan Chipko (memeluk pohon) di Uttarakhand, India pada tahun 1970-an. Saat banjir bandang dan perusahaan penebang hutan mengancam, para perempuan desa bangkit. Mereka memeluk pohon-pohon, melindunginya dengan tubuh mereka sendiri. Intimidasi tak menyurutkan langkah mereka.
Berita tentang aksi ini menyebar, memicu gelombang solidaritas dan berhasil mengusir para penebang, mesin-mesin berat dan kontraktor. Gerakan dari akar bawah melawan ekosida muncul di berbagai belahan dunia: gerakan Kayapo di Brasil, gerakan Ogiek dan Sengwer di Kenya, gerakan Mapuche di Chile, dan banyak lagi, termasuk di Indonesia.
Hormat dan takzim yang terdalam untuk para tetua dan perempuan adat yang terus berjibaku mempertahankan hutan di tanah Kalimantan. Ketika alam dan budaya diabaikan, apa yang tersisa bagi generasi mendatang hanyalah puing-puing peradaban.
Seperti kata pepatah suku Cree; “Ketika pohon terakhir telah ditebang, sungai terakhir telah tercemar, dan ikan terakhir telah ditangkap, barulah manusia menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan”.