Mempercakapkan Pemajuan Kebudayaan Kalimantan Barat

Oleh: Agus Yuliono
Penulis adalah dosen Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Tanjungpura

NEWSANTARA.CO — Pada tanggal 28 Januari 2025, Pontianak Post menerbitkan tulisan opini dari Hatta Budi Kurniawan yang berjudul “Menjadikan Kebudayaan sebagai Hulu Pembangunan”. Hatta menuliskan bahwasanya, “Kebudayaan idealnya diposisikan sebagai hulu, bukan hilir. Sayangnya, banyak kebijakan yang hanya memandang kebudayaan sebagai etalase, sekadar memoles permukaannya tanpa menyentuh substansi nilai yang terkandung di dalamnya”. Dedy Ari Asfar di Pontianak Post tanggal 21 Februari 2025 juga menuliskan kegelisahan tentang bahasa daerah yang semakin hilang dan ditinggalkan. Saya sangat sepakat dengan isi dua tulisan tersebut dan mengalami kegelisahan yang sama.

Kegelisahan muncul kembali oleh seorang kawan penggiat budaya ketika diskusi di warung kopi mengenai euforia suatu festival atas nama kesenian yang melibatnya ribuan orang demi pencapaian angka rekor nasional. Kegelisahan itu dilontarkan dengan pertanyaan, apakah nilai-nilai di dalam kesenian, bahasa dan wastra tersebut tersampaikan dan dipahami dengan penuh kesadaran oleh para peserta, publik bahkan sebagai pendidikan karatkter untuk anak-anak kita? Atau sekedar gegap gempita plus pencapaian angka kuantitas yang fantastis semata? Kalau kebudayaan diibaratkan telur, maka yang dihadirkan hanya sekedar cangkangnya.

Kegelisahan ini bukan soal berebut benar dan salah. Kebudayaan memiliki daya tumbuh jika ada ruang kritis reflektif yang terus didialogkan. Penting untuk menengok kembali dan bercakap-cakap tentang kebudayaan. Soal bagaimana cara kita selama ini memandang kebudayaan.

Apa Kabar Kebudayaan?

Kalimantan Barat sangat kaya dengan budaya. Di dalamnya hidup bersama berbagai etnis yaitu Dayak, Melayu, Tionghoa, Bugis, Madura dan masih banyak lagi. Berdasarkan riset etnolinguistik oleh Institut Dayakologi tahun 2008, terdapat 151 Subsuku Dayak dan 168 Bahasa Dayak yang beragam di Kalimantan Barat. Belum lagi kekayaan budaya Melayu yang memiliki ciri khas di setiap daerah. Kebudayaan Tionghoa, Bugis, Madura dan lainnya turut memperkaya mozaik kebudayaan di Kalimantan Barat. Jika didata di Data Pokok Kebudayaan (Dapobud) berdasarkan wujud budaya secara tangible (terlihat) dan intangible (tidak terlihat seperti nilai, makna, pengetahuan), maka yakin jumlahnya mencapai ribuan lebih.

Kalimantan Barat memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, namun sayangnya, tidak sebanding dengan laju pendataan kebudayaan. Berdasarkan data dari BPK XII Wilayah Kalimantan Barat, jumlah Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Kalimantan Barat yang sudah ditetapkan sejak 2013 – 2024 berjumlah 80. Lebih memprihatinkan lagi, data Indeks Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Kalimantan Barat berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Kemenko PMK mencatat laju pertumbuhan terendah di antara empat provinsi di Kalimantan, dengan angka minus 3,24 selama periode 2021-2023. Tidak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat tahun 2024 juga paling rendah di regional Kalimantan dan masih di bawah rata-rata nasional. Ini adalah alarm. Apakah ini pertanda kita sedang mengabaikan pembangunan manusia dan kebudayaan?.

Salah Kaprah Pelestarian

Kegelisahan demi kegelisahan mengarah pada salah kaprah dalam memandang kebudayaan. Salah kaprah terjadi ketika budaya dimaknai sekedar untuk kepentingan ekonomi. Artinya, ketika budaya itu menghasilkan uang maka akan dijaga. Sebaliknya, ketika budaya itu dianggap tidak mendatangkan uang maka ditinggalkan. Kebudayaan dipandang sekedar untung-rugi. Budaya dikerdilkan dan disempitkan maknanya. Sisi nilai spiritual, filosofis, edukasi, sosial, solidaritas, dan pengetahuan lokal lainnya terabaikan. Budaya tampil megah tapi krisis nilai, sekedar wadah tanpa isi.

Seringkali kita tidak menyadari ada yang kurang pas dalam memandang kebudayaan. Seperti menempatkan budaya sebagai obyek yang berjarak dari diri dan kolektivitas. Padahal diri manusia adalah bagian budaya, dari cara berpikir, bertindak dan berkarya. Nilai-nilai budaya membuat manusia berkomunikasi, melestarikan, mengembangkan pengetahuan, dan bersolidaritas menyikapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Mengenal dan memahami budaya mestinya menstimulus diri untuk solilokui (berbincang pada diri sendiri untuk mengenal diri), ekstansi (dasar dari manusia untuk memahami dan merasakan makna terdalam), katarsis (melepaskan ketegangan-ketegangan hidup), dan kontemplasi (memandang masa lalu, sekarang dan masa depan untuk hidup yang lebih bermakna).

Strategi Gotong Royong

Hadirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menandakan upaya melestarikan kebudayaan mulai bergerak ke arah yang lebih kongkret melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Pendataan budaya daerah dengan memetakan kondisi budaya dan masalah yang dihadapi secara faktual menjadi langkah awal yang bisa dilakukan sehingga menjadi dasar untuk regulasi terkait strategi dan kebijakan kebudayaan. Data kebudayaan sangat penting untuk membantu memetakan keberagaman budaya, mengidentifikasi budaya yang terancam punah, memastikan alokasi sumber daya dan sarana prasarana kebudayaan yang efektif, analisis permasalahan dan merancang program partisipatif kreatif.

Sejak UU Pemajuan Kebudayaan disahkan, banyak daerah telah bergerak dengan menyusun peraturan daerah dan perbup/perwal sebagai wujud komitmen untuk menyusun langkah strategis di daerah. Beberapa daerah di Kalimantan Barat sudah memiliki Perda Pemajuan Kebudayaan diantaranya Sanggau, Sambas, Bengkayang dan Kayong Utara. Bagaimana dengan Provinsi Kalimantan Barat dan daerah yang lain? Jika daerah lain sudah bergerak, apa yang membuat masih berdiam?.

Upaya pemajuan kebudayaan tidak boleh elitis. Aksi pemajuan kebudayaan tidak berarti jika pelaksanaannya hanya sekedar proyek birokratis, formalitas dan ala kadarnya yang penting memenuhi tugas. Secara prosedural selesai tetapi tidak substantif maupun tidak menunjukkan dampak strategis dan praksis. Tidak mungkin urusan pemajuan kebudayaan jika hanya ditangani sendirian oleh Kementerian Kebudayaan atau pemerintah daerah saja.

Pemajuan kebudayaan mustahil terwujud jika masih ada sekat-sekat tembok pemisah. Pemajuan kebudayaan adalah tanggung jawab bersama. Penting untuk kolaborasi antara masyarakat, pelaku budaya, lembaga adat, pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas, media dan semua elemen untuk gotong royong dalam pemajuan kebudayaan. Proses pemajuan kebudayaan perlu mengaktifkan partisipasi (bottom-up), semangat kebersamaan, dan penuh dedikasi dari semua elemen.

Alarm telah berbunyi. Ada kutipan penting dari buku Menuju Kongres Kebudayaan Indonesia (2018) bahwasanya kebudayaan bukanlah salah satu sektor pembangunan, melainkan orientasi dari seluruh sektor pembangunan. Kebudayaan perlu diposisikan sebagai pemberdaya (enabler) bagi pembangunan yang berkelanjutan karena kebudayaan menghadirkan perspektif yang mengutamakan keselarasan baru antara manusia dan lingkungannya sehingga pembangunan tidak menguras habis kekayaan alam ataupun meminggirkan kaum yang lemah demi akumulasi ekonomi bagi segelintir orang. Ini menjadi tantangan aksi-aksi yang berjejaring dan berkelanjutan untuk mengonkretkan kerja-kerja pemajuan kebudayaan di Kalimantan Barat!

*Tulisan ini telah tayang di portal pontianakpost.jawapos.com, Sabtu 1 Maret 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *