JAKARTA — Salah satu kebijakan terbaru dari pemerintah pada awal tahun 2017 ini adalah soal holdingisasi BUMN. Disahkannya PP No. 72 tahun 2017 perubahan atas PP No 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan, dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN menuai banyak polemik di kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Polemik tersebut dibarengi dengan Konfrensi Pers di Kantor Fitra di Mampang Prapatan IV Jln. K No 37, Jaksel (Kamis, 19/1). Dalam jumpa pers tersebut dihadiri oleh sejumlah kalangan akademisi. 1. Yudhi Haryono (Nusantara Centre), 2. Dhani Setiawan (AEPI), 3. Yenny Sucipto (Fitrah), 4. Rusli Abdullah (INDEF), 5. Riesqi Rahmadiansyah (Advokat Rakyat).
Dalam releasnya, kondisi terkini aset BUMN sangat besar. Pada tahun 2015 tercatat jumlah BUMN sebanyak 116 dengan total aset mencapai 5.752 Triliun. Dari total BUMN tersebut memiliki total pendapatan usaha mencapai Rp. 1.780 triliun. Jika dibandingkan dengan pendapatan negara pada tahun 2014 pendapatan negara pada tahun 2015 mengalami penurunan 11%.
Menurunnya grafik keuntungan diklasifikasikan dengan 13 BUMN dengan tingkat kesehatan yang kurang baik, dan 2 BUMN dalam kondisi tidak sehat. Dua BUMN yang tak sehat tersebut mengalami kerugian 350 miliar.
“Ada 7 permasalahan pada PP. 72 tahun 2016 pungkas Yenny dalam jumpa persnya (Kamis, 19/1). Ia menjelaskan yang pertama adalah “inkinstitusional, upaya memisahkan kekayaan dari APBN, menghindari proses transparansi”, melanggar aturan di atasnya (UU.No 19 tahun 2003 tentang BUMN), mekanisme PMN dan jual beli Saham dilonggarkan, sangat riskan dapat dengan mudah diprivatisasi dan pengawasan legislatif dibatasi” imbuhnya.
Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola sumber keuangan negara terlihat dengan kebijakan ini. ” lebih banyak diakuisisi oleh oligark” ungkap Yudhie di sela-sela paparannya.
ia menambahkan pengelolaan yang asal-asalan yang disebut tak mampu mengobati devisit dan minus APBN. tutupnya.