JAKARTA – Perselisihan antara PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) dengan Konfedarasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) yang sudah berlangsung sekira 1 tahun, hingga kini belum mencapai titik temu. Bahkan, konflik tersebut kini akan masuk ke ronde berikutnya ke meja pengadilan hubungan industrial (PHI), karena tidak adanya itikad baik dari Chevron untuk menyelesaikan konfliknya secara mufakat.
Untuk diketahui, perselisihan Sarbumusi dengan Chevron berawal dengan adanya kebijakan baru manajemen Chevron, yaitu work force management (WFM) atau pengelolaan tenaga kerja. Akibat munculnya kebijakan tersebutlah, ratusan karyawan yang bekerja di bawah PT CPI dipaksa untuk angkat kaki untuk dirumahkan atau di PHK secara sepihak.
Dalam roda organisasi baru Chevron melalui program WFM, perusahaan yang bergerak dalam bidang tambang hanya membutuhkan karyawan sebanyak 4.880 orang dari total pekerja sampai awal tahun 2016 sekitar 6.500 karyawan baik di Sumatera maupun Kalimantan. Dari data yang diperoleh, sedikitnya Chevron akan memangkas 25 persen dari total karyawannya atau sekira 2000 orang.
Karena kebijakan yang dirasa kurang menguntungkann karyawan, sebagai konfedarasi buruh yang harus memperjuangkan hak karyawan dan anggotanya, dijelaskan oleh Presiden DPP Konfedarasi Sarbumusi, Syaiful Bahri Anshori, mengultimatum kebijakan perusahaan yang memiliki induk di negeri adidaya Amerika tersebut.
Menurut Syaiful, dalam regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, setiap perselisihan ketenagakerjaan wajib dirundingkan terlebih dahulu melalui mekanisme Bipatrit agar diperoleh kesepakatan melalui mekanisme musyawarah mufakat. Undang-undang juga mengamanatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apalagi secara massal merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
“Dalam konteks ini pengusaha, serikat buruh dan pemerintah dalam dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Dan apabila PHK tidak dapat dihindari maka mekanisme perundingan menjadi tempat kesepakatan PHK antara pengusaha dan serikat buruh serta diakhiri dengan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” ujar pria yang menjabat juga sebagai anggota DPR RI ini, (25/1/2017).
Menanggapi PHK massal yang terkesan dipaksakan karena melalui kebijakan sepihak PT Chevron Pasific Indonesia, politisi PKB itu menyatakan Chevron merupakan perusahaan multi nasional yang arogan, karena kebijakan sepihaknya bertentangan dengan amanat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Didalam Undang-undang itu tidak ada yang namanya pengunduran diri sukarela atau atas inisiasi pengusaha, jika ada itu batal demi hukum. Maka itu, SKK Migas sebagai regulator dalam konteks tata kelola perusahaan migas telah meminta dengan tegas terhadap manajemen PT Chevron Pasific Indonesia untuk melakukan perundingan terhadap rencana PHK massal tersebut dengan pihak serikat buruh,” beber kader nahdiyin itu.
Sebagai satu-satunya serikat pekerja yang masih terus menyuarakan hak para pekerja, Syaiful juga menjelaskan bahwa Chevron diduga melakukan intimidasi kepada sekitar 111 pekerja yang saat ini sudah dirumahkan agar mencabut gugatannya yangs udah dilayangkan ke pengadilan hubungan Industrial (PHI). “ Dari 111 orang yang melakukan gugatan, 30 orang kini sudah mencabut gugatannya,” singkat politisi asal Jember itu.
Karena konflik yang berkepanjangan itu, Syaiful meminta kepada Presiden Republik Indonesia dan Menteri Ketenagakerjaan untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut, agar ratusan korban kesewenang-wenangan perusahaan asing tersebut mendapatkan haknya kembali sesuai amanat undang-undang. (bas)