Newsantara, Jakarta- Ramainya pemberitaan kasus dipecatnya Guru honorer Ibu Hervina di SD Negeri 169 Sadar, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mengundang komentar dari berbagai pihak, baik Eksekutif, Legislatif maupun Pemerhati Pendidikan.
Komentar lebih banyak menyayangkan dan prihatin atas kejadian yang menimpa ibu Guru Hervina.
SK pengangkatan Hervina sebagai guru honorer sukarelawan yang berlaku mulai 16 Juli 2005 ditanda tangani oleh Jumarang Kepala SDN Sadar saat itu, yang kebetulan suami dari Hamsiah Kepala SDN 169 Sadar sekarang. Sedangkan pengangkatan sebagai guru non-PNS berdasarkan SK Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Bone, Nomor 036 Tahun 2020.
Guru Hervina kelahiran tahun 1986 mengajar di SD Negeri 169 Sadar sejak 16 tahun lalu, diberhentikan hanya karena mengunggah cerita gaji honorer bulanan di laman media sosial Facebooknya. Di laman Facebooknya Ibu Guru Hervina menulis tentang dana Bos selama empat bulan sejumlah Rp 700 000 , dengan rincian untuk bayar utang Rp 200 000, kasih Mammi Rp 100 000, Aqma Rp 50 000, Aiyia Rp 50 000, jumlah Rp 700 000. Unggahan ini ditutup dengan kalimat, untuk saya Mana?
Menurut Hervina beberapa jam setelah ia mengunggah jumlah gajinya di media sosial, ia menerima pesan melalui Whatshap dari Jumarang, suami Kepala Sekolah SDN 169 Sadar. Isi pesan tersebut adalah pemecatan. “Mulai sekarang kamu berhenti mengajar, cari saja sekolah lain yang bisa gaji kamu lebih banyak,” demikian isi pesan singkat yang dituturkan Hervina. Kompas.Com. 16 Februari 2021.07.29
Cerita derita Guru honorer tentang masalah status, kesejahteraan, jaminan sosial dan perlindungan guru, bukan sekali ini saja diungkap, tetapi sudah benyak yang diceritakan,hanya saja belum ada penyelesaian yang menggembirakan. Guru guru honorer ini bekerja, mengabdi,mengajar dan mendidik di Sekolah/Madrasah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah akibat banyaknya Sekolah/Madrasah kekurangan guru. Akan tetapi Pemerintah sering abai dan tidak berpihak terhadap Guru guru honorer.
Berikut adalah Fakta di lapangan Pemerintah kurang berpihak terhadap Guru guru honorer. Pertama, adanya larangan mengangkat guru honorer di sekolah negeri. Kedua, Surat Verifikasi dan Validasi Menpan RB, Ketiga, janji Pemerintah menyelesaikan Guru honorer. Keempat, Pemerintah mengabaikan aturannya sendiri PP 74 tahun 2008 tentang Guru. Kelima, Penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ). Keenam , Mengabaikan Perlindungan Guru
Pertama, Larangan Mengangkat Guru Honorer di Sekolah negeri
Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 Pasal 8 menyebutkan bahwa, Gubernur, Walikota dan Bupati di seluruh Indonesia dilarang mengangkat tenaga honorer sejak tahun 2005.
Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah’ sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 dan sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 2012.
Selanjutnya , SE Mendagri No. 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013 , ditegaskan bahwa: Gubernur dan Bupati/Walikota di larang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenisnya menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, bagi Gubernur, Walikota/Bupati yang masih melakukan pengangkatan tenaga honorer dan sejenisnya, maka konsekuensi dan dampak pengangkatan tenaga honorer atau sejenisnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah’.
Peraturan pelarangan mengangkat pegawai honorer di instansi pemerintah termasuk melarang mengangkat Guru honorer.PP 48 tahun 2005 dan SE Mendagri no 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2010 ini adalah salah satu aturan Pemerintah yang tidah berpihak terhadap Guru guru Honorer. Dengan kata lain digunakan tenaganya tetapi di abaikan statusnya.
Walaupun kenyataan di lapangan banyak Sekolah/Madrasah kekurangan guru , akibat ribuan Guru guru PNS memasuki masa pensiun,akan tetapi di sisi lain Sekolah/Madrasah dilarang mengangkat guru honorer pengganti Guru PNS yang pensiun. Hingga tahun 2020 tercatat kurang lebih 1,3 juta guru honorer di Indonesia.
Kedua, Verifikasi dan Validasi MenPan RB
Saat Men Pan RB dijabat Azwar Abubakar, meminta dilakukannya verifikasi dan validasi terhadap tenaga honorer kategori dua yang tidak lulus dalam seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 2013. Permintaan itu melalui surat Nomor B.2605/M.PAN.RB/6/2014 tertanggal 30 Juni 2014 yang ditujukan kepada Menteri/Jaksa Agung/Kepala LPNK/Sekjen Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota selaku Pejabat Pembina Kepegawaian di seluruh tanah air.
Data hasil validasi tersebut selanjutnya disampaikan ke Kementerian PANRB dan BKN paling lambat tanggal 15 Agustus 2014 laporan data hasil verifikasi dan validasi honorer kategori dua ini harus disertai dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang diteken kepala daerah.
Dengan surat kementerian tentang Verifikasi dan Validasi ini 399 095 orang tenaga honorer termasuk guru di seluruh instansi mempunyai harapan secepatnya agar bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Hingga tahun 2020 data hasil verifikasi dan validasi honorer terabaikan entah digunakan untuk apa.
Data 399.095 sampai saat ini ada di BKN dan Kemen Pan RB berikut SPTJM nya dari kepala daerah masing masing. Dengan kata lain, dengan adanya SPTJM dari pemerintah daerah hasil verifikasi dan validasi,maka status guru honorer mustinya sudah diakui oleh Pemerintah daerah bersangkutan
Kemungkinan Ibu Hervina guru honorer di kab Bone ada dalam daftar Guru Guru honorer yang sudah di verifikasi,validasi ini.
.
Ketiga, Janji Pemerintah menyelesaikan honorer
Janji Pemerintah untuk menyelesaikan tenaga honorer termasuk Guru, terlihat dari hasil kesepakatan Komisi II DPR RI dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara serta Komisi Aparatur Sipil Negara .
Kesepakatan akan mengangkat tenaga honorer kategori ll secara bertahap ini merupakan hasil rapat dengar pendapat pada Selasa,15 September 2015 di gedung Parlemen Senayan.
Akan tetapi dimentahkan oleh hasil rapat Senin,20 Januari 2020 antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi , Badan Kepegawaian Nasional Dan Komisi ll Dewan Perwakilan Rakyat sepakat menghapus pegawai tetap, pegawai tidak tetap dan pegawai honorer dari status pegawai yang bekerja di Instansi pemerintah.
Tahun 2015 Pemerintah dan DPR RI sepakat mengangkat tenaga Honorer secara bertahap, tahun 2020 Pemerintah dan DPR RI sepakat menghapus tenaga honorer dari daftar kepegawaian Pemerintah.
Kenyataannya Janji akan mengangkat Guru honorer tidak terwujud, Lembaga yang sama dalam acara yang sama bukan mengangkat guru honorer, malah sebaliknya seluruh honorer dihapus dari data status kepegawaian.
Inilah salah satu bentuk ketidak berpihakan Pemerintah terhadap Guru honorer.
Keempat, Pemerintah mengabaikan peraturan yang dibuatnya sendiri ,PP 74 Tahun 2008 tentang Guru,
Pasal 1 ayat 8, PP 74 menyebutkan Guru Tetap, adalah guru yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah,penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan untuk jangka waktu yang paling singkat dua tahun secara terus menerus,dan tercatat dalam satuan administrasi pangkal di satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah serta melaksanakan tugas pokok sebagai guru.
Hanya saja Pemerintah setelah 10 tahun merubah aturan itu melalui PP 19 Tahun 2017 dimana pada Pasal 1 ayat 9, Guru Tetap adalah Guru yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau diangkat oleh pimpinan penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat .
Kalimat Guru tetap diangkat oleh Pemerintah,Pemerintah Daerah, penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan pada pasal 1 ayat 8 PP 74 tahun 2008, dihapus dan diganti menjadi Guru tetap diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian pada pasal 1 ayat 9 PP 19 tahun 2017.
Kenyataannya,pejabat pembina kepegawaian Pemerintah Provinsi,Kabupaten Kota enggan menetapkan Guru honorer sebagai Guru tetap, dengan alasan berbenturan dengan SE Mendagri tahun 2010. berakibat Guru guru honorer tidak mempunyai status.
Dengan tidak diterapkannya pasal 1 ayat 8 PP 74 tahun 2008 bagi guru honorer yang telah mengabdi selama dua tahun menjadi guru tetap , maka berakibat Guru guru honorer sulit mengikuti program peningkatan kualifikasi,peningkatan kompetensi serta program Sertifikasi. Maka wajar 1,3 juta guru honorer hanya 7000 orang yang telah bersertifikat pendidik.
Inilah aturan yang tidak berpihak terhadap guru guru honorer.
Kelima, Penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) .
Sejak dicanangkannya sekolah gratis, maka partisipasi masyarakat melalui iuran SPP yang dikoordinir oleh Komite Sekolah tidak berjalan .akibatnya honorarium bagi guru guru honorer yang selama ini diterima dari Komite Sekolah tidak ada lagi. Honorarium guru guru honorer dialihkan melalui penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah.
Penggunaan dana BOS dimungkinkan maksimal 50% untuk honorarium,kenyataannya banyak sekolah yang mengalokasikan untuk honorarium guru honorer sisa dari kegiatan operasinal lainnya.
Wajar bila ibu Hervina hanya mendapatkan Rp 700 000 untuk honorarium 4 bulan.
Untuk itu petunjuk pelaksanaan penggunaan Dana BOS harus jelas mencantumkan besaran honorarium bagi guru guru honorer, semisal berdasarkan Upah Minimum Provinsi ( UMP).
Hal ini sesuai Pasal 14 hurup ( a) UU no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen , yang menyebutkan bahwa hak guru adalah memperoleh penghasilaan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial
Penggunaan prasa kata Bantuan dalam program Bantuan Operasional Sekolah kurang tepat, karena Pemerintah sifatnya hanya membantu bukan membiayai. Selayaknya Pemerintah sebagai penyelenggara satuan pendidikan membiayai seluruh kebutuhan sekolah, termasuk honorarium Guru honorer.
Agar Guru guru honorer memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum maka, BOS bukan hanya berasal dari Pemerintah Pusat, melainkan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota sesuai amanat UUD 45 bahwa APBN/APBD 20 % wajib dialokasikan untuk dana Pendidikan.
Pertanyaannya ,apakah pemerintah provinsi,pemerintah kabupaten dan kota menyalurkan dana BOS dan menganggarkan APBDnya 20 % untuk pendidikan? Kalau tidak, berarti Pemerintah mengabaikan pendidikan serta tidak berpihak terhadap guru honorer.
Keenam. Perlindungan Guru
Dasar hukum perlindungan bagi Guru adalah Pasal 40 Ayat (1) butir (d) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional . Pasal 39 Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Jenis perlindungan bagi Guru meliputi,Perlindungan Hukum, Perlindungan Profesi,Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual . Melindungi Guru dari tindakan ancaman, diskriminatif dan pemutusan hubungan kerja semena mena merupakan bagian dari kegitan perlindungan Guru.
Siapa yang mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan bagi Guru? dengan tegas disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) UUGD ,yaitu Pemerintah,Pemerintah Daerah,Masyarakat,Organisasi Profesi dan Satuan Pendidikan .
Ancaman, intimidasi dan pemutusan hubungan kerja semena mena yang dilakukan oleh orang lain terhadap Ibu Hervina mustinya tidak boleh terjadi. Kepala sekolah sebagai pimpinan Satuan Pendidikan merupakan orang pertama dan utama melindungi Guru dari tindakan pemutusan hubungan kerja yang semena mena, bukan sebaliknya.
Organisasi profesi seperti PGRI di Kabupaten Bone serta Dinas Pendidikan sebagai perangkat Pemerintah Daerah, wajib melindungi guru, khususnya guru honorer ibu Hervina.
Kasus kasus yang menimpa Guru honorer bukan hanya dialami Ibu Hervina, tetapi masih banyak guru guru yang belum mendapat perlindungan di negeri tercinta ini, hanya saja banyak yang tidak terungkap.
Terungkapnya kasus ibu guru Hervina bisa menjadikan pelajaran bagi kita semua ,bahwa kehidupan guru guru honorer masih jauh dari apa yang kita harapkan.
Bila Bangsa ini ingin maju, maka benahilah Pendidikannya. Bila pendidikan ingin bermutu, maka urus guru nya dengan benar dan baik.
Jakarta,16 Februari 2021
Didi Suprijadi
Pembina FGTHSI
Ketua Majelis KSPSI Nasional