Jakarta, Newsantara – Keseriusan pemerintah pusat dalam penanggulangan covid-19 diragukan banyak pihak. Selain kebijakan karantina wilayah yang terlambat, minimnya fasilitas kesehatan (faskes) serta kekurangan alat perlindungan diri (APD) maupun ventilator, tidak hanya menunjukkan kelambanan pemerintah dalam bekerja melainkan juga terkait transparansi dana covid-19.
Menurut Deklarator Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) yang juga sosiolog Universitas Krisnadwipayana Hamzah Fansuri, minimnya fasilitas kesehatan ini bisa dilihat dari besaran alokasi anggaran kesehatan di Indonesia yang di bawah standar minimal.
Jika merujuk rekomendasi World Health Organization (WHO) yakni 5 persen dari PDB untuk anggaran kesehatan, ini berarti sebanyak 750 triliun rupiah adalah batas mininum yang dibutuhkan dengan besar PDB kita adalah 15.883,9 triliun.
“Akan tetapi, pemerintah hanya mengalokasikan 123,1 triliun pada tahun 2019. Jumlah ini bahkan kurang dari rata-rata negara lain yang sudah mengalokasikan 10%,” ujar Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/3/2020).
Sampai saat ini, lanjut dia, besaran dana Covid-19 belum diketahui persis oleh masyarakat luas. Sehingga beberapa pemerintah kabupaten hingga desa-desa berspekulasi untuk menggunakan dana desa. Ada juga yang mengusulkan 200 triliun rupiah.
“Ketidakjelasan ini padahal bisa setidaknya diatasi jika kita memenuhi standar minimal dari WHO saja yakni 5 persen dari PDB,” jelasnya.
.
Deklarator JIB yang juga research fellow di La Trobe University, Australia, Dina Afrianty menambhakan, dana Covid-19 haruslah transparan.
Untuk itu, JIB mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal dana covid-19 agar transparan dan bisa diakses semua pihak. Mengingat keadaan yang bertambah genting dan kurva angka kematian serta pesebaran virus yang belum mencapai puncaknya.
“Maka fasilitas kesehatan yang minim bisa menjadi pertanyaan masyarakat bagaimana dana covid-19 ini didistribusikan,” pungkasnya. (Des)