Jakartanewantara.co. Bermula dari pentingnya garis-garis besar haluan negara (GBHN), atau sekarang UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam 20 tahun, dan kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun. Langkah membangun negeri menjadi sesuatu yang integratif. Jelas, ini kabar yang menggembirakan.
Pemerintah tengah merancang RPJPN 2025-2045 dalam rangka menuju Indonesia Emas saat berusia 100 tahun merdeka. Dengan pendekatan people and natural resource based development strategy, RPJP Indonesia Emas ini dirancang untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar keluar dari level mediocre, sehingga bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat dan berkelanjutan. Bagaimanapun, membangun negeri itu butuh perencanaan yang jelas, tidak tergantung siapa yang berkuasa.
Di DPR, draf revisi UU Pemilu tengah bergulir. Draf tersebut berencana menyatukan dua aturan pemilu, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Keserentakan nasional 2024 memang disikapi KPU sebagai amanah yang berat, mengaca pada pengalaman yang lalu. Namun, jika memang begitu aturannya, KPU mengaku akan tetap menjalankannya.
Draf revisi UU Pemilu sudah bergulir di DPR. Draf ini rencananya menyatukan dua aturan Pemilu, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. RUU Pemilu lantas menjadi polemik, lantaran dalam draf revisi UU Pemilu yang baru, salah satu poinnya mengatur tentang Pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016. Beberapa anggapan miring pun mencuat ke permukaan.
Sejumlah fraksi di DPR terbelah mengenai ketentuan tersebut. Fraksi PDIP, PKB, dan Gerindra mendukung Pilkada digelar serentak pada 2024, bersamaan dengan tahapan Pemilu nasional. Sementara itu, fraksi NasDem dan Golkar justru mendukung Pilkada dinormalisasi menjadi 2022 dan 2023, dalam arti setiap tahun kita sibuk dengan pesta demokrasi. Perbedaan pandangan antarfraksi tersebut merupakan sesuatu yang lumrah. Tetapi, jika tujuannya sama: membangun negeri, bukannya seirama menjadi keniscayaan?
Terlalu sempit jika ketentuan keserentakan nasional tentang pesta demokrasi 2024 ditafsiri sebagai upaya menjegal pihak tertentu, misalnya dianggap sebagai usaha menjegal Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang masa jabatannya akan habis pada 2022. Energi dan anggaran habis untuk keperluan pesta demokrasi yang tidak sama waktu pelaksanaannya merupakan sistem ketatanegaraan yang mesti dibenahi. Pembangunan harus menjadi fokus prioritas.
Membangun negeri dengan demografi yang jelas dan spesifik menuntun pembangunan oleh sistem yang baku, dan pemerintah terpilih—baik pusat maupun daerah—bergerak seirama. Tidak tersekat perbedaan partai, tidak tersendat oleh rancangan pembangunan yang sesuai kepentingannya sendiri. Integrasi pusat dengan daerah yang demikian jelas tidak akan mengungkung otonomi daerah, melainkan kesinambungan kinerja demi kemajuan bersama.
Dengan kata lain, partai boleh beda, pilihan politik boleh beragam, tetapi dalam konteks membangun negeri sekat-sekat tersebut mesti dimusnahkan. Pembangunan negeri harus mengacu pada RPJPN, atau spesifik RPJM. Pemerintah daerah tetap memiliki kewenangan tentang RPJP daerahnya, tetapi tidak boleh kontradiktif—yang biasanya dilatari perbedaan parta dan geo-politik—dengan RPJPN. Pemerintah daerah dan pusat jadi tidak bisa bekerja berseberangan, melainkan membangun negeri secara integratif dan bekerja sama.
Ada empat pilar visi Indonesia Emas 2045, yaitu pembangunan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; pembangunan ekonomi berkelanjutan; pemerataan pembangunan; serta ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan. Berdaulat, maju, adil dan makmur menjadi grand design yang demografinya sudah tercanangkan dengan detail oleh Kementerian PPN/Bappenas. Namun, semua itu tidak akan berjalan dengan efektif selama kepentingan partai berada di depan.
Membangun negeri menuju Indonesia Emas pada 100 tahun kemerdekaan RI tidak bisa dan mustahil dicapai hanya dalam rentang waktu lima tahun, dalam RPJ pendek pemerintah daerah yang seringkali kurang koordinasi dengan pusat. Penghalang kemajuan ini bisa menjadi tugas evaluasi bersama, agar kita tidak memimpikan kemajuan sembari berperan melanggengkan kemunduran; politik kesukuan antaipartai. Pendek kata, partai tidak boleh menjadi sekat dalam cita membangun negeri.
Pemilu serentak pada 2024, mulai dari presiden hingga kepala daerah, menjadi awal dari RPJPN menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah tidak lagi memiliki alasan untuk mengelak dari hasil pembangunannya, karena semuanya sudah bisa dilihat dari RPJP tersebut. Perbedaan politik juga tidak berpengaruh, karena pembangunan sudah diatur oleh sistem. Pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah, hanya perlu bekerja seirama, dan mengacu pada sistem tata negara yang sudah ada.
Partai boleh berbeda, tetapi membangun negeri harus seirama. Kita tidak bisa larut dalam narasi koalisi-oposisi yang mengarah pada stagnasi kebangsaan. Yang pantas disebut oposisi nantinya adalah ia yang berseberangan dengan RPJPN yang sudah ada. Kita perlu mendukung rancangan keserentakan nasional ini bukan karena kubu apa dan apa, partai apa dan apa. Bukan karena mendukung Jokowi dan menjegal lawan politiknya. Bukan juga tentang Anies dan lainnya.
Ini tentang masa depan bangsa Indonesia. Membangun negeri tidak bisa ditempuh jika waktu habis oleh pesta Pilkada dan agenda jangka pendeknya. Dan selama itu untuk Indonesia, maka kita sebagai bangsa, terlepas dari apa pun partainya, wajib hukumnya seirama. @Ftr