Membumikan Revolusi Mental dan Nawacita.
Dalam interaksi sosial, pengaruh dan mempengaruhi adalah sesuatu yang biasa terjadi. Mendominasi dan didominasi.
Sebagai negara yang pernah mengalami konialisasi, Indonesia akan sangat menarik jika kita korelasikan. Pasalnya, pola yang telah disebutkan di atas adalah pola yang digunakan para penjajah.
Pola dominasi-atau hegemoni itu dilakukan untuk menaklukan. Tentunya dengan muara yang memperdaya.
Pada gilirannya, dominasi itu mencapai pada peneguhan mental. Merasa bahwa dirinya adalah manusia yang telah didominasi. Inferior. Dan menanggung keterbelakangan.
Mental merupakan wadah untuk memupuk karakter. Menjadi pemenang atau menjadi yang kalah. Menjadi besar atau menjadi kecil. Mendominasi atau didominasi.
Dalam relasi bernegara, Indonesia sebagai bangsa tak diajarkan demikian. Sebab, Pancasila mengajarkan semua setara. Sepenanggungan. Termasuk dalam turut sertanya Indonesia menciptakan perdamian dunia. Sebab, segala bentuk dominasi yang berlabuh pada penjajahan tak dapat dibenarkan.
Mental yang kini dimiliki sebagian anak bangsa, terutama kebanyakan para elit terkontaminasi oleh karakter yang diwariskan kolonialisme masa lampau. Sehingga tak sejalan dengan semangat penghayatan Pancasila.
Revolusi mental dihadirkan dan dibumikan untuk mendekolonisasi dan menghalau situasi sulit seperti sekarang. Situasi “paregreg” yang tak berkesudahan.
Sesungguhnya Soekarno telah menyampaikannya dalam point delapan (8). Nawacita. Sembilan konsepsi sebagai senjata. Senjata untuk menikam mati musuh bangsa. Ia menghantarkan bagaimana revolusi karakter bangsa menjadi prioritas untuk lepas dari bayang-bayang kolonial.
Revolusi mental belum mencapai pada sisi substansi. Menemukan jalan terjal di depan mata. Kini, ia membutuhkan katakter revolusioner untuk dibumikan.
Oleh: Bustanul Iman
Peneliti di Forum Literasi Island Book.
NaraHubung Belanja Buku:
Adari Baduy: (085694382784)