Gedoran Depok: Tragedi Kaoem Depok di Masa Revolusi

Oleh: Amri Amrullah*

Stigma “Belanda Depok” dan Dampaknya

NEWSANTARA.COKaoem Depok kerap dicap sebagai pengkhianat dan kaki tangan Belanda selama Perang Revolusi (1945-1949). Stigma ini memicu serangkaian kekerasan terhadap mereka, mulai dari pengusiran, penyiksaan, hingga pembunuhan. Salah satu peristiwa paling kelam adalah Gedoran Depok, di mana para pejuang revolusi menyerbu rumah-rumah Kaoem Depok karena dianggap mendukung Belanda.

Kisah Kelam Gedoran Depok

Menurut Boy Loen, keturunan generasi ke-8 marga Loen, generasi tua Kaoem Depok enggan mengingat peristiwa ini karena terlalu traumatis. Saat terjadi penyerangan, warga Depok meneriakkan “Bersiap!” sebagai tanda bahaya. Rumah-rumah Kaoem Depok digedor, dirampok, dan penghuninya diusir atau dibunuh dengan keji—bahkan beberapa kepala korban dimasukkan ke dalam sumur.

Baca Juga: Cornelis Chastelein: Cikal Bakal Belanda Depok

Menyelamatkan Diri di Tengah Kekacauan

Untuk bertahan hidup, Kaoem Depok bersembunyi di kebun belimbing dan sekitar lembah (sekarang belakang Polres Depok). Mereka hanya pulang saat maghrib untuk mengambil makanan sebelum kembali bersembunyi. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan.

Baca Juga: Cornelis Chastelein: Ubah Budak Menjadi Tuan Tanah

Penahanan dan Intervensi Sekutu

Beberapa Kaoem Depok yang tertangkap ditahan di Gedung Het Gemeentebestuur (kini RS Harapan Depok). Nasib mereka berubah ketika seorang wartawan asing memanggil pasukan sekutu, sehingga mereka dibebaskan.

Kehilangan Tanah dan Aset

Di tengah kekacauan, Kaoem Depok terpaksa meninggalkan harta benda, termasuk sertifikat tanah. Banyak aset mereka dirampas atau dikuasai paksa. Bahkan setelah revolusi, pemerintah Indonesia melikuidasi tanah partikelir milik mereka, menyisakan luka yang tak terobati.

Warisan Trauma yang Tak Terlupakan

Bagi Kaoem Depok, Gedoran Depok bukan sekadar sejarah—melainkan trauma turun-temurun. Hingga kini, kisah ini tetap menjadi memori pahit yang lebih sering disimpan daripada diceritakan.

*Penulis adalah mantan wartawan Republika dan Penggiat Literasi Digital

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *